Skip to main content

Usia Dewasa

Ada banyak cara menentukan usia dewasa seseorang.
Namun buat saya, menentukan usia dewasa tampaknya cukup sederhana, yaitu ketika seseorang sudah bisa mengurus urusannya sendiri, tanpa harus diantar orang tuanya.
Konon katanya, dulu ayah saya mengurus sekolahnya sendiri sejak SMP. Mendaftar sendiri, pulang-pergi juga sendiri. Bahkan, beliau berkebun dan menggembala kambing sendiri sejak usia SD kelas sekian.
Beberapa dekade setelahnya, saya juga mengurus sekolah sendiri, tapi sejak masa SMA. Mendaftar sendiri, pulang-pergi tanpa diantar. Itulah usia dewasa kami, mungkin bisa dikatakan rata-rata orang Indonesia saat itu.
Namun, entah sejak kapan mulai terjadi, belakangan ini saya tampaknya semakin sering melihat anak-anak kuliah yang bukan hanya diantar oleh orang tuanya mendaftar, tapi sampai didampingi pada saat ospek, atau apapun namanya itu.
Anak-anaknya jongkok dengan segala atributnya, para orang tua juga jongkok dengan segudang logistik hanya sepelemparan batu jaraknya. Para orang tua tampaknya harus selalu sigap menyuplai nutrisi bagi anak-anak yang sedang berjuang di medan ospek, kapanpun si petarung mulai merengek.
Seorang kawan yang baru-baru ini datang ke rumah saya juga bercerita bahwa dia melihat banyak sekali anak yang diantar orang tuanya saat proses seleksi beasiswa pascasarjana. Semoga saja hanya calon mahasiswa S-2 bukan S-3.
Tampaknya usia dewasa manusia, atau setidaknya orang-orang di negara kepulauan ini semakin hari semakin meningkat, menjadi lebih tua maksudnya.
Tiba-tiba saja saya membayangkan, suatu saat kelak ada orang yang pergi mengurus dana pensiun, dengan diantar ibunya, atau naik haji diantar bapaknya.
Mungkin orang-orang ini dulu waktu melamar kerja juga diantar orang tuanya.

Comments

Popular posts from this blog

Di Tepi Pantai Kolaka

Di tepi pantai Kolaka, aku duduk dan termenung. Pandangan aku arahkan jauh ke depan, melampaui birunya laut, menanti matahari terbenam. Tatapanku tersapu ombak, tertiup angin, merengsek ke dermaga lalu hilang bersama kapal-kapal yang berlayar. Aku berharap pandangan ini meleburkan semua masalah dan mengokohkan niatku dalam hidup. Sudah cukup lama aku berada di sini, kota kecil yang selalu menyimpan kerinduan. Sebulan lebih aku habiskan, sejak kedatanganku yang kesekian kalinya. Ini kali terlama sejak aku meninggalkannya sebelas tahun yang lalu. Tak pernah aku banyangkan akan selama ini sebelumnya. Tuhan memang terkadang aneh, dia punya rencana-rencana yang tidak mampu dijangkau akal manusia. Dia bekerja saja, tetapi tidak pernah aku mendengar Dia berkata apa-apa. Dia melaksanakan semuannya dalam diam. diam... Di tepi pantai Kolaka aku duduk dan termenung... Dari kejauhan tampak tiga buah kapal ferry berlabuh menanti giliran pemberangkatan. Dua puluh lima meter di depanku ada tiga buah

Musim Mudik Telah Usai, Kembali Kampungan

Musim mudik telah usai. Pada masa-masa mudik itulah, kami orang desa, kaum udik, diperkenalkan langsung kepada gadget, mobil-mobil mewah, dialek-dialek aneh, yang biasanya hanya kami lihat di televisi. Agak aneh juga melihat suasana lebaran di kampung yang udik ini. Orang-orang saling bersalaman, berjabat tangan dengan tangan kanan, dan tangan kiri memegang handphone. Anak-anak desa, para pemuda kampung kini tidak bisa lagi bercengkrama sepuasnya. Mereka harus sesekali melirik saudara, keluarga, dan kerabat lainnya yang asik menatap gawainya masing-masing. Seolah-olah para pemudik itu sedang menunjukkan simbol kemajuan dan kemapanan, kekinian kata orang-orang ibu kota. Saat-saat seperti itulah orang-orang desa benar-benar merasa kampungan, ketinggalan jaman. Sterotyping yang turut disebarkan melalui sinetron-sinetron. Sekarang, musim itu telah usai. Para pemudik telah kembali ke kota, tempat segala kemajuan, kemapanan dan kekinian itu. Mudah-mudahan mudik kali ini bisa membawa

Bulan Bersinar dari Timur

Sebut saja Bulan, pastinya bukan nama sebenarnya. Namun, dia memiliki kemiripan dengan bulan, bersinar di malam hari. Ketika matahari mulai terbenam, seperti halnya bulan, Bulan pun terbit dengan manisnya. Namun, ketika matahari sudah terbit di pagi hari, dan bulan sudah terbenam, Bulan masih saja bersinar dengan keceriaannya yang sangat menggemaskan. Seperti kanak-kanak, Bulan selalu tersenyum dan tertawa. Indah sekali. Asalnya dari Jawa Barat. Di bawah sinar lampu yang temaram, dia menyebutkan sebuah daerah yang tidak terlalu asing di telingaku. Sebelum akhirnya sampai di tanah ini, dulunya ia bekerja di Lampung. “Capek bang” kata dia, memberi alasan mengapa dia berhenti di sana dan memilih kehidupan baru di Papua. “Di sana kami harus bekerja sampai jam 4 pagi setiap hari. Di sini lebih enak, cukup sampai jam 1 pagi. Aku jadi punya waktu istirahat yang cukup”. Aku meminta dia berkisah lebih banyak. “Aku hamil waktu masih SMA, dan pacarku tidak mau bertanggung jawab.