Skip to main content

Posts

Showing posts from 2008

Budak Teknologi

The Syahrir, manusia biasa Prolog Jarum jam menunjukkan pukul 23 lewat 32 menit, ketika aku masih saja terus berusaha untuk memejamkan mata. Tapi tampaknya akan sia-sia. Pikiran masih saja terganggu. Lalu aku putuskan untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan, kisah di sebuah siang -menjelang sore-. Tampak Eri sedang main game sambil nonton TV, Probo masih saja mengedit tulisannya, dan Idris entah kemana. Teman-teman masa kuliah. Sebuah Siang Menjelang Sore Telepon berdering, terdengar suara dari seberang sana, entah sejauh apa aku tidak tau pasti. Yang aku tau adalah seseorang atau mungkin sekelompok orang sedang membutuhkan tim untuk pekerjaan di sebuah daerah di Kalimantan. Pekerjaan pengukuran topografi tepatnya. Berangkat dari niat baik untuk saling menguntungkan masing-masing pihak, kami kemudian mendiskusikan beberapa hal, tepatnya aku menjawab banyak pertanyaan darinya. Intinya aku menyanggupi pekerjaan itu dengan catatan bahwa pekerjaan itu akan aku outsourcing-kan ke kampus/UP

every inch of you

aku terjaga ditengah lelap yang mendera mencoba untuk terus terpejam dalam desakan gulana namun aroma itu terlalu kuat memaksaku untuk bangkit seonggok daging nan cantik membentang indah di sebelahku, engkau terkulai, terhampar, terberi keteduhan hati seorang wanita dalam lelah, kau temukan kebahagiaan ku belai rambutmu, tidak lurus dan tidak panjang, tidak seperti yang diinginkan oleh kebanyakan orang karena kau memang tidak tidak ingin seperti orang lain atau terus berusaha seperti orang lain. terkadang aku berusaha untuk mengingat kapan pertama kali aku melihat rambut itu tapi aku tidak pernah berhasil, dan mungkin tidak akan pernah, karena memang aku tidak tahu kapan. yang aku tahu adalah sekarang aku sedang membelainya ku belai lagi rambutmu, tidak lurus dan tidak begitu panjang namum itulah dirimu, penuh ketulusan dan apa adanya kau hanya menjadi dirimu sendiri, dan terus berusaha untuk menjadi dirimu sendiri itulah mengapa aku mengagumimu. malam baru saja beranjak, berganti pag

Terselip di Hijaunya Andalas

Petang menghantarkanku pada sebuah pemandangan indah matahari terbenam di punggung Gunung Dempo. Kawasan pengunungan yang menawarkan kearifan lokal masyarakat perkebunan teh yang dikelola perusaahaan milik pemerintah, beserta segala kesederhanaan dan keramahannya. Dengan berlatar belakang pemandangan indah ini, aku memandang ke kota Pagar Alam yang mulai tertutup kabut tipis nan sejuk. Kota yang berjarak sekitar 300 km dari Palembang, ibu kota Sumatera Selatan. Kota yang para penduduknya merasa tidak perlu memarkir kendaraan dengan rapi, karena jumlahnya tidak begitu banyak dan pasti ada ruang kosong. Aku menghirup udara segar yang semakin langka aku dapatkan, menahannya seolah-olah tidak ingin melepaskannya, dan menghembuskannya perlahan untuk mendapatkan udara segar lainnya. Tanpa terasa malam datang menjemput. Dari kejauhan tampak cahaya lampu kota yang gemerlap, ada beberapa bagian yang berkedip, mungkin cahanya lampunya lebih redup. Pemandangan yang menarik. Malam semakin larut

Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional dan Kondisi Industri Indonesia Kontemporer

Penggalan Kata Pentingnya, hidup matinya negara pada dunia kapitalisme dan imperialisme ini, bergantung pada bermacam-macam hal, persenjataan, perindustrian, terutama senjata, letak negara, persatuan serta banyak penduduknya, semangat rakyat, kecerdasan dsb. Kalau semua hal yang lain bersamaan (letak negara, kecerdasan dan banyak penduduk dsb), maka dalam satu perjuangan keadaan perindustrianlah yang akan memberi putusan. Yang kuat perindustriannya, itulah pihak yang mesti menang. Perusahaan sekarang berdasar atas Ilmu-bukti (science) dan teknik, pesawat. Pesawat itu bendanya ialah besi baja dan kodrat atau rohaninya terutama minyak tanah. Kalau tak ada baja dan minyak, kapal terbang tak bisa naik, tank dan auto tak bisa lari dan kapal-selam tak bisa maju. Kalau besi dan baja itu tidak terdapat dalam negara, melainkan pada negara lain, maka buat menyampaikan maksud imperialismenya negara itu, dia mesti menguasai semua benda yang penting itu kalau satu negara penuh dengan benda tadi,

Setinggi Paha Orang Dewasa

“Pemirsa, kendaraan yang melintas di jalan-jalan banyak yang terjebak baniir dan mogok sehingga menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Hal ini disebabkan karena banjir yang menggenangi sebagian besar wilayah DKI Jakarta masih setinggi paha orang dewasa.” Inilah kurang lebihnya penggalan kalimat yang sedang ramai dilaporkan oleh para reporter di televisi. Sekilas kita langsung dapat membayangkan apa yang sedang terjadi di ibu kota Negara kita ini, banjir yang melanda, kemacetan yang menggila, dan pada tingkatan yang lebih tinggi fenomena perputaran ekonomi yang terhambat mengakibatkan kerugian berganda yang tidak sedikit. Namun, pada tulisan ini saya tidak mengajak anda untuk membayangkan apa yang sedang terjadi itu, atau mencoba untuk mencari solusi dari permasalahan yang tampak sebagai kutukan ini. Tapi saya mengajak untuk melihat sisi lain dari laporan tersebut, tentang penggunaan kalimat “setinggi paha orang dewasa”. Saking seringnya kalimat tersebut diucapkan, sampai-sampai saya

Jejak Langkah Tanah Borneo

Pukul 08.00 pagi tim berangkat dari wisma perusahaan menuju lokasi yang direncanakan. Tim-yang terdiri dari dua orang berusia empat puluh delapanan tahun, para pejabat sebuah perusahaan pupuk negara, dan aku yang berusia setengah dari mereka dan bukan siapa-siapa, sampai pada daerah terakhir yang dapat dijangkau oleh kendaraan darat yang kami tumpangi pada sore hari. Sesuai rencana kami akan menginap di tempat itu. Sebuah pulau kecil di tengah sungai. Di sebuah hotel terbaik dan satu-satunya di desa itu. Dan daerah terakhir yang terjangkau signal telepon seluler. Keesokan paginya, setelah sarapan, tepat pukul 07.00, suara speed boat yang mengangkut tim meraung-raung di tengah sungai. Perjalananpun dilanjutkan. Menurut informasi, perjalanan ini akan ditempuh selama 2 jam sampai di ibukota kecamatan lokasi sasaran, biayanya sekali antar 2 juta rupiah. Ternyata itu betul. Dari ibukota kecamatan, dibantu oleh 2 orang porter lokal, pak Sumpa dan pak Ijum, tim langsung menuju titik camp yan