Ditulis untuk menyambut Hari Pahlawan 10 November 2017 dan 1 tahun PK-85 Bhadrika Sagraha
Tiba-tiba telepon berdering. Suara dari seorang kawan di tanah air meluncur dengan jelas dan penuh semangat. Senang sekali rasanya mendengar dia berbicara.
Seolah-olah melaporkan, dia berkata bahwa baru saja bertemu dengan Kepala Staf Kepresidenan. Entah apa pokok pembicaraan mereka si teman ini tidak menyampaikan secara rinci.
Hanya saja, salah satu yang mereka bahas adalah sektor kemaritiman Indonesia yang katanya selalu kekurangan tenaga pelaut. Indonesia masih kalah oleh Filipina dalam menyuplai pelaut dunia, padahal dari segi luasan, laut negara tetangga itu tidak ada apa-apanya dibanding kita.
Sistem yang ada sekarang, menurut pembicaraan mereka, belum memungkinkan bahkan sekedar untuk mencukupi kebutuhan pelaut nasional. Si teman punya usul untuk membangun kerjasama panti asuhan seluruh Indonesia dengan sekolah-sekolah pelayaran untuk mengatasi masalah kelangkaan pelaut ini.
Lalu dia bertanya: “Pendapat mas gimana?”
Aku lalu memberi sedikit pandangan bagaimana kekeliruan kita mengelola industri ekstraktif (termasuk perikanan laut, pertambangan dan migas), terutama kelalaian dalam mengkonversi sumberdaya alam menjadi human capital dan sumberdaya lain yang lebih berkelanjutan (sustainable).
Tapi aku tidak ingin membahasnya di sini, karena pasti akan sangat membosankan. Lagian, aku telah berjanji akan menuliskannya dalam beberapa halaman untuk nanti dia bahas dengan si Kepala Staf atau entah siapa.
Yang ingin aku sampaikan adalah bagaimana aku sangat menikmati aktifitas ini: menyuplai gagasan dan pandangan-pandangan.
Dan entah mengapa, si teman juga tampaknya tidak mau berhenti. Topik dan kasusnya pun bermacam-macam. Entah apa yang dia harapkan.
Pernah suatu malam aku hampir tidak tidur meladeni pertanyaan mengenai potensi konflik saat demonstrasi di Ibu Kota. Lain kali membahas bagaimana menghadapi serbuan pekerja asing di pelosok-pelosok.
Aku tahu, pandangan-pandangan itu tidak akan berhenti sampai ke si teman saja, seperti gagasan mengenai pengelolaan sumberdaya alam yang aku janji tuliskan tadi.
Tapi aku tidak perlu tahu gagasan atau pandangan itu akan mendarat di mana.
Yang aku butuhkan adalah menikmati prosesnya, bahwa di saat memberikan gagasan, kita harus meniadakan diri.
Iya, meniadakan diri. Tidak boleh ada ego di sana, tidak boleh ada kepentingan pribadi di sana. Tidak ada ruang buat AKU atau SAYA. Yang ada hanyalah KITA dan kepentingan yang lebih besar.
AKU bahkan tidak perlu muncul untuk mendapatkan kredit jika pandangan itu diterima atau gagasan itu berhasil diterapkan. Karena sekali lagi, keberhasilan akan selalu milik KITA.
Tempat buat AKU hanya ada pada ruang-ruang kontemplasi ketika keadilan, pemerataan, dan kedamaian telah hadir.
Itupun ia hanya boleh muncul dalam kesendirian, dalam bentuk senyum simpul anak manusia.
Lalu aku dapat apa?
Ya apalah kita ini. Diberi kesempatan untuk ikut tinggal di negara yang indah penuh ramah tamah ini saja sudah sangat bersyukur.
Tidak elok tampaknya kalau melulu bertanya aku dapat apa, padahal kita sendiri belum memberi apa-apa.
Lagian, aku cukup menikmati hidupku di kaki gunung, di desa yang jauh dari hiruk pikuk.
Selamat Hari Pahlawan, mari meniadakan diri.
Comments
Post a Comment