Skip to main content

Essay Seleksi LPDP: Sukses Terbesar Dalam Hidupku




Sukses Terbesar Dalam Hidupku
Sebuah Pencapaian, Sebuah Perspektif

Memutuskan untuk besekolah lagi ke jenjang S2 bukanlah pilihan yang mudah buat saya waktu itu. Usia pernikahan yang baru beberapa bulan serta tidak menemukan peluang beasiswa untuk jurusan yang saya inginkan merupakan tantangannya. Permasalahannya adalah biaya besar yang harus disediakan di depan dalam bentuk tabungan bank di negara tersebut. Setelah mengkalkulasi saldo dari buku-buku rekening saya menemukan nilai rupiah yang cukup untuk memenuhi batas minimum yang disyaratkan. Hasil diskusi dengan istri membulatkan tekad saya untuk berangkat dengan biaya sendiri. Saya berjanji untuk berhemat selama di sana, berusaha mencari pekerjaan sambilan, dan secara berkala mengirimkan uang kembali ke Indonesia untuk keperluan sehari-harinya. Begitulah rencananya.

Pada puasa ramadhan September 2009, berangkatlah saya dengan meningkalkan istri yang tengah hamil, menempuh jarak lebih dari 10 ribu kilometer seorang diri dengan waktu tempuh kurang lebih 36 jam sampai ke Freiberg, sebuah kota kecil di pelosok Jerman.  Dimulailah masa hidup dengan orang-orang dengan warna kulit dan kebudayaan yang sama sekali berbeda.

Semester pertama saya jalani dengan sangat sulit. Pengalaman kuliah pada dua universitas yang berbeda dan aktif berorganisasi di dalam dan di luar kampus sewaktu S1 dulu menjadi modal untuk menampilkan performa terbaik. Tapi itu saja belum cukup. Penyesuaian pola hidup dan cuaca menjadi tantangan utama. Hasilnya adalah saya gagal pada 2 dari 12 mata kuliah plus kehilangan berat badan sebanyak 12 kilogram dalam kurun waktu 4 bulan. Kabar baiknya adalah anak kami yang pertama lahir dengan selamat di Yogyakarta, seorang anak lak-laki yang tampan seperti ayahnya.
Masalah tampaknya masih menjadi sahabat di semester-semester berikutnya. Gagal mendapatkan pekerjaan sambilan karena beban akademik yang besar dan penguasan bahasa Jerman yang lambat, terjebak di bandara Kuwait akibat letusan gunung berapi Eyjafjallajökull di Islandia, laptop yang rusak, serta kehabisan biaya yang sempat mengancam kelangsungan kuliah merupakan sebagian dari warna masa-masa perkuliahan saya waktu itu. Tapi jauh di lubuk hati saya meyakini bahwa ini hanyalah cara Tuhan untuk memberi tahu kemampuan saya yang sebenarnya.

Tanggal 22 Juli 2011 merupakan hari yang bersejarah. Hari itu saya berhasil mempertahankan tesis di depan tim penguji dan para audiens sebagai persyaratan akademik terakhir untuk mendapatkan gelas master. Hal yang paling menyenangkan adalah saya menjadi lulusan pertama di angkatan saya, bahkan yang tercepat sepanjang sejarah lebih 10 tahun jurusan tersebut berdiri, dengan nilai yang baik tentunya.

Lalu apakah ini kesuksesan buat saya? tidak. Ini bukanlah kesuksesan saya. Ini adalah kesuksesan keluarga besar pak Slamet, tempat saya menumpang makan, minum, tidur dan meminjam laptop pada semester akhir, ibu dan mertua atas doa pada setiap sujud mereka, dan ayah yang dari alam sana datang memberi dukungan lewat mimpi hingga saya harus bangun dan menggigil setiap mengalaminya. Sungguh, ini adalah kesuksesan istri saya atas keiklahsan dalam setiap nafasnya. Keberhasilan saya ini hanya pengejahwantahan dari harapan dan impian mereka.

Lalu di mana letak kesuksesan saya? Kesuksesan saya adalah ketika berhasil memaksa teman yang putus sekolah untuk merantau ke Yogyakarta, memfasilitasi mengikuti pelatihan, lalu dia mandiri dengan usaha servis handphone di Makassar. Sukses saya adalah ketika menjadi pionir usaha penyulingan daun cengkeh di Kolaka lalu membuka lapangan pekerjaan dan usaha bagi masyarakat di sana. Saya merasa sukses pada saat mampu membantu proses rehabilitasi lahan bekas tambang yang sudah puluhan rusak sehingga mampu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Kesuksesan lebih pantas diukur dari sudut pandang orang lain, karena walaupun kedengarannya klasik tapi sangat relevan, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya buat orang lain. Dengan segala kerendahan hati, kesuksesan sebaiknya dinilai dari sudut pandang mereka yang mendapatkan manfaat dari setiap kontribusi kita terhadap kehidupan, termasuk oleh hewan dan tumbuhan dalam bahasa mereka masing-masing.

Kesuksesan terbesar dalam hidup saya adalah ketika mampu menjadi pemimpin yang baik dan mengangkat derajat mereka yang dipimpin.  Kesuksesan terbesar dalam hidup saya bahkan mungkin hanya dapat dinilai oleh generasi penerus bangsa yang suatu saat nanti merasakan manfaat dari apa yang saya lakukan saat ini.  Kesuksesan terbesar saya jika nanti nama saya disebut di sekolah-sekolah, di desa dan di kota, sebagai salah satu putra terbaik bangsa ini. Dan merekalah yang pantas untuk bercerita kepada dunia.

Comments

Popular posts from this blog

Di Tepi Pantai Kolaka

Di tepi pantai Kolaka, aku duduk dan termenung. Pandangan aku arahkan jauh ke depan, melampaui birunya laut, menanti matahari terbenam. Tatapanku tersapu ombak, tertiup angin, merengsek ke dermaga lalu hilang bersama kapal-kapal yang berlayar. Aku berharap pandangan ini meleburkan semua masalah dan mengokohkan niatku dalam hidup. Sudah cukup lama aku berada di sini, kota kecil yang selalu menyimpan kerinduan. Sebulan lebih aku habiskan, sejak kedatanganku yang kesekian kalinya. Ini kali terlama sejak aku meninggalkannya sebelas tahun yang lalu. Tak pernah aku banyangkan akan selama ini sebelumnya. Tuhan memang terkadang aneh, dia punya rencana-rencana yang tidak mampu dijangkau akal manusia. Dia bekerja saja, tetapi tidak pernah aku mendengar Dia berkata apa-apa. Dia melaksanakan semuannya dalam diam. diam... Di tepi pantai Kolaka aku duduk dan termenung... Dari kejauhan tampak tiga buah kapal ferry berlabuh menanti giliran pemberangkatan. Dua puluh lima meter di depanku ada tiga buah

Musim Mudik Telah Usai, Kembali Kampungan

Musim mudik telah usai. Pada masa-masa mudik itulah, kami orang desa, kaum udik, diperkenalkan langsung kepada gadget, mobil-mobil mewah, dialek-dialek aneh, yang biasanya hanya kami lihat di televisi. Agak aneh juga melihat suasana lebaran di kampung yang udik ini. Orang-orang saling bersalaman, berjabat tangan dengan tangan kanan, dan tangan kiri memegang handphone. Anak-anak desa, para pemuda kampung kini tidak bisa lagi bercengkrama sepuasnya. Mereka harus sesekali melirik saudara, keluarga, dan kerabat lainnya yang asik menatap gawainya masing-masing. Seolah-olah para pemudik itu sedang menunjukkan simbol kemajuan dan kemapanan, kekinian kata orang-orang ibu kota. Saat-saat seperti itulah orang-orang desa benar-benar merasa kampungan, ketinggalan jaman. Sterotyping yang turut disebarkan melalui sinetron-sinetron. Sekarang, musim itu telah usai. Para pemudik telah kembali ke kota, tempat segala kemajuan, kemapanan dan kekinian itu. Mudah-mudahan mudik kali ini bisa membawa

Bulan Bersinar dari Timur

Sebut saja Bulan, pastinya bukan nama sebenarnya. Namun, dia memiliki kemiripan dengan bulan, bersinar di malam hari. Ketika matahari mulai terbenam, seperti halnya bulan, Bulan pun terbit dengan manisnya. Namun, ketika matahari sudah terbit di pagi hari, dan bulan sudah terbenam, Bulan masih saja bersinar dengan keceriaannya yang sangat menggemaskan. Seperti kanak-kanak, Bulan selalu tersenyum dan tertawa. Indah sekali. Asalnya dari Jawa Barat. Di bawah sinar lampu yang temaram, dia menyebutkan sebuah daerah yang tidak terlalu asing di telingaku. Sebelum akhirnya sampai di tanah ini, dulunya ia bekerja di Lampung. “Capek bang” kata dia, memberi alasan mengapa dia berhenti di sana dan memilih kehidupan baru di Papua. “Di sana kami harus bekerja sampai jam 4 pagi setiap hari. Di sini lebih enak, cukup sampai jam 1 pagi. Aku jadi punya waktu istirahat yang cukup”. Aku meminta dia berkisah lebih banyak. “Aku hamil waktu masih SMA, dan pacarku tidak mau bertanggung jawab.