Skip to main content

Posts

Showing posts from 2007

The Eve

Mikail mengehela nafas panjang. Segera ia berpaling sebelum pintu bandara menghalangi pandangannya. Ia tidak mau keinginan untuk memandang Eve, sang kekasih, terhalangi oleh sebuah benda mati yang tidak berperasaan. Suasana bandara domestik Pristina-ibu kota provinsi Kosovo- yang ramai tidak menghilangkan rasa sepi yang merelung. Ia merasa tidak nyaman. Tampak salju masih bertebaran setelah hujan semalam. Sejuknya pagi ternyata tidak banyak membantu. Selepas mengantarkan Eve sampai ke pintu masuk, ia langsung beranjak pulang. Keberangkatan Eve melengkapi rangkaian kisah singkat kebersamaan mereka. Mikail menghela nafas panjang. Kini dilakukan tiga kali. Sebentuk jiwa sedang kelelahan. Hampa. Bayangan hari kemarin mulai mewarnai pikirannya. Mikail sangat tersanjung ketika Eve mengatakan akan mengunjunginya sebelum kembali ke Belgrade. Eve, mahluk yang cerdas, tulus, dan sangat cantik akan bertemu dengannya. Rencana kedatangan Eve awalnya membuat Mikail sedikit panik. Bagaimana tidak,

bergandengan tangan dan merantai jiwa

bergandengan tangan: seperti halnya apa yang telah, sedang, dan akan kita lihat disekitar kita. jalan berduaan, harus berduaan tepatnya; saling merangkul, harus saling merangkul tepatnya; sangat dekat, harus dekat tepatnya; sangat rapat, harus rapat tepatnya; dan bergandengan tangan, harus bergadengan tangan tepatnya; bergandengan tangan: seperti halnya apa yang telah, sedang, dan akan kita lihat disekitar kita. kesan hanya muncul ketika kita berada disampingnya; kita merindukan melihat wajahnya, tapi tidak jiwanya; kita memaknai apa dapat yang kita lihat darinya, bukan yang dapat kita rasakan darinya; kita mengisi hari-hari dengannya pada saat kita berada disampingnya, pada saat kita melihat tubuhnya; bukan setiap saat, entah kita didekatnya, entah jauh darinya, bukan pada setiap bayangannya yang terlintas ketika kita merindu, bukan pada setiap hembusan nafas menjelang kita tidur dan memimpikannya; tapi merantai jiwa: jauh lebih dalam; seperti halnya apa yang telah, sedang, dan akan k

Kisah cinta sepotong cokelat

Suatu hari, 21 Juni 2007 Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam kurang sepuluh menit, ketika mereka sepakat untuk melangkah pulang. Langkah demi langkah melewati lorong jalan yang gelap, tidak begitu gelap, berbelok ke kiri, lurus, lalu ke kanan, melewati pos penjagaan kompleks perumahan, sambil memberi salam kepada para penjaga sebagai sebuah kewajiban, lalu melangkah di tepi jalan raya, yang sampai semalam ini seperti tiada hentinya dilalui oleh orang-orang yang pulang kerja. Sebuah potret beringasnya kota. Sambil sesekali bercakap-cakap, dengan wajah kebahagiaan yang disembunyikan, memberikan kesempatan pada keangkuhan, mereka menuju sebuah bangunan bertingkat berbentuk bilik-bilik kamar yang dihuni oleh sekian banyak orang. Beberapa diantaranya saling mengenal satu dengan yang lain, tetapi lebih banyak yang tidak. Bukan masalah buat mereka. Pembicaraan melompat dari satu topik ke topik yang lain. Mereka tersenyum dalam setiap topik pembicaraan, merespon sebanyak mungkin, dan ber

4 tahun yang lalu, dan 4 tahun kemudian

4 tahun yang lalu.... 4 tahun yang lalu, aku terdiam... dalam tatapan sebuah buku petunjuk kurikulum baru... ya, waktu itu sekitar september 2002 jurusan tambang upn memberlakukan kurikululm baru, yang artinya perubahan kurikulum terjadi.. aku membaca setiap kata dengan saksama, sampai pada akhirnya aku paham bahwa semuanya demi kebaikan bersama.. walaupun cukup menyakitkan karena aku harus kehilangan 8 sks, mata kuliah yang dihapuskan atau digabung, termasuk beberapa buah praktikum (taukan betapa menyebalkannya praktikum) lalu aku tersenyum... menghela nafas panjang...dan menggeram... 8 sks harus aku tebus segera... dan ikhlas... 4 tahun kemudian... 4 tahun kemudian...(beberapa hari yang lalu) aku mengambil transkrip nilai di UGM. ternyata aku kelewatan 1 matakuliah wajib yang diadakan di semester ganjil. artinya aku harus nunggu 1 tahun lagi hanya untuk 1 matakuliah itu....terbayang keinginan untuk segera berhenti kuliah aja...aku terlalu ceroboh... lalu aku berdoa... dan berdoa la

Menjelang Persimpangan

Satu langkah telah tertapaki Akan tetapi ribuan yang lain telah menanti Tone yang terlantun, dan suara yang gemercik Sepoi melanda senada harapan yang menghembus Hari ini hari ketujuh Seminggu sudah harapan itu tertitipkan Lima hari sudah bibit itu tertanam Kesemuanya menunggu sebuah hal, hujan Lembaran demi lembaran termaknai Sambil sesekali menimbulkan teka-teki yang menggemaskan Atau sebuah lelucon yang menggelitik Karena dia sangat dekat, seurat leher Mendampingi pendakian Mungkin tidak lama lagi, harapan muncul Alam memanglah sangat bijak Berbicara dengan bahasanya sendiri Dalam bingkaian kesabaran Walaupun terkadang tercaci Aku... Ya, sebuah gambaran keangkuhan Kini duduk menghamba Dalam nada yang terlantun Dalam senyum permakluman Mencoba berbicara dalam bahasamu Menjelang sebuah persimpangan jalan Yang tujuannya sama saja...

Mendung Malam

Hitam pekat angkasa berwarna Sambil sesekali suara guntur bergemuruh, sesekali kilat memekik, dan sayup dari kejauhan suara orang bercengkerama.. lalu hilang. Aku tahu aku sedang diamati. Empat pasang mata angsa terus menatapku bingung. Barangkali mereka heran apa yang sedang aku lakukan di sini. Duduk sendirian di bawah temaram lampu jalan, di tengah malam yang dingin, yang sebentar lagi hujan. Diapit dua pohon mangga. Kasihan para pohon mangga ini, buahnya sudah habis dipetik. Baik itu oleh si empunya, juga orang-orang yang lalu lalang. Tetapi mereka tidak pernah merasa puas dan bangga, mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk memberikan yang terbaik. Buah mangga yang manis dan ranum, buah-buah terbaik yang mereka miliki.Bayi-bayi mereka rawat dari kecil, melindungi dari terik mentari, menghangatkan dikala malam, dan memberi makan ketika lapar Yang terjadi adalah buahnya dipetik sebelum matang. Terlebih jika yang memetiknya bukan si empunya, mereka yang hanya kebetulan lewat

Di Tepi Pantai Kolaka

Di tepi pantai Kolaka, aku duduk dan termenung. Pandangan aku arahkan jauh ke depan, melampaui birunya laut, menanti matahari terbenam. Tatapanku tersapu ombak, tertiup angin, merengsek ke dermaga lalu hilang bersama kapal-kapal yang berlayar. Aku berharap pandangan ini meleburkan semua masalah dan mengokohkan niatku dalam hidup. Sudah cukup lama aku berada di sini, kota kecil yang selalu menyimpan kerinduan. Sebulan lebih aku habiskan, sejak kedatanganku yang kesekian kalinya. Ini kali terlama sejak aku meninggalkannya sebelas tahun yang lalu. Tak pernah aku banyangkan akan selama ini sebelumnya. Tuhan memang terkadang aneh, dia punya rencana-rencana yang tidak mampu dijangkau akal manusia. Dia bekerja saja, tetapi tidak pernah aku mendengar Dia berkata apa-apa. Dia melaksanakan semuannya dalam diam. diam... Di tepi pantai Kolaka aku duduk dan termenung... Dari kejauhan tampak tiga buah kapal ferry berlabuh menanti giliran pemberangkatan. Dua puluh lima meter di depanku ada tiga buah

Dalam Tatapan Sebuah Dermaga

Dalam tatapan sebuah dermaga, aku kecewa. Angka-angka itu tidak membuatku menjadi lebih gembira. Setidaknya kekhawatiran itu masih ada. Kuhela nafasku dalam-dalam, seiring dengan pandangan yang jauh ke depan, semuanya tampak sama, biru.. Aku tahu, aku salah, bukan siapa-siapa. Akan tetapi di saat yang sama aku juga yakin bahwa Tuhan itu maha pengampun dan pelindung. Aku masih berharap Tuhan seperti itu. Setidaknya sampai sekarang. Sesekali segelas jus alpukat mencoba untuk membuat aku sejenak melupakan apa yang ada di kepala, tapi ia mulai putus asa. Sampai akhirnya sadar bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sepasang roti bakar mengamati semuanya, mencoba untuk melakukan hal yang sama, dan hasilnya sama saja. Jangan pernah berharap mendapatkan hasil yang berbeda jika kita masih melakukan hal yang sama. Tapi masih ada harap di sana. Aku bertanya kepada malaikat, apakah aku masih pantas untuk memohon kepada Tuhan?Aku yang angkuh dan sombong ini. Aku berteriak dan menangis memintanya. T