Skip to main content

Orang Bodoh di Pesawat

Perjalananku kali ini tampak sedikit berbeda, mungkin karena keinginan untuk menuangkan isi kepala dalam bentuk tulisan. Sejak di ruang tunggu, aku sudah mulai membuka laptop dan menggerak-gerakkan jemari. Tulisan pertama hampir selesai ketika panggilan untuk naik pesawat diumumkan.
Saat tanda sabuk pengaman dimatikan, yang mengindikasikan pesawat sudah dalam posisi terbang stabil, aku meraih laptop lagi, menyelesaikan tulisan pertama dan langsung lanjut ke tulisan yang kedua. Maklum, gagasannya sudah di ujung jidat.
Tidak lama kemudian, jreng..tulisan kedua selesai, sesaat sebelum suara merdu seorang pramugari mengumumkan bahwa pesawat beberapa saat lagi akan mendarat dan semua peralatan elektronik harus dimatikan.
Kemudian, saat seluruh jiwa dan raga bersiap-siap untuk mendarat, terdengarlah sebuah deringan telpon entah dari mana. Inilah bagian yang aku paling tidak suka, seorang bodoh yang tidak mematikan HP di pesawat.
Bukan karena aku sok menaati aturan, tapi kalau ada apa-apa dengan pesawat ini karena kecerobohan seseorang, maka bukan dia seorang saja yang kena akibatnya. Orang-orang saleh dan tidak berdosa seperti aku ini juga pasti akan celaka.
Mataku kemudian melirik kiri kanan, dengan geram mencari sumber suara dan berniat menegur si penumpang ceroboh dan tidak tahu diri itu. Si bodoh yang karena kelakuannya bisa mengancam nyawa orang beriman dan baik hati sepertiku.
Dalam sepersekian detik, pandanganku akhirnya tertuju ke sebuah saku tempat HP berbunyi dan bergetar. Iya, saku bajuku sebelah kiri.

Comments

Popular posts from this blog

Di Tepi Pantai Kolaka

Di tepi pantai Kolaka, aku duduk dan termenung. Pandangan aku arahkan jauh ke depan, melampaui birunya laut, menanti matahari terbenam. Tatapanku tersapu ombak, tertiup angin, merengsek ke dermaga lalu hilang bersama kapal-kapal yang berlayar. Aku berharap pandangan ini meleburkan semua masalah dan mengokohkan niatku dalam hidup. Sudah cukup lama aku berada di sini, kota kecil yang selalu menyimpan kerinduan. Sebulan lebih aku habiskan, sejak kedatanganku yang kesekian kalinya. Ini kali terlama sejak aku meninggalkannya sebelas tahun yang lalu. Tak pernah aku banyangkan akan selama ini sebelumnya. Tuhan memang terkadang aneh, dia punya rencana-rencana yang tidak mampu dijangkau akal manusia. Dia bekerja saja, tetapi tidak pernah aku mendengar Dia berkata apa-apa. Dia melaksanakan semuannya dalam diam. diam... Di tepi pantai Kolaka aku duduk dan termenung... Dari kejauhan tampak tiga buah kapal ferry berlabuh menanti giliran pemberangkatan. Dua puluh lima meter di depanku ada tiga buah

Musim Mudik Telah Usai, Kembali Kampungan

Musim mudik telah usai. Pada masa-masa mudik itulah, kami orang desa, kaum udik, diperkenalkan langsung kepada gadget, mobil-mobil mewah, dialek-dialek aneh, yang biasanya hanya kami lihat di televisi. Agak aneh juga melihat suasana lebaran di kampung yang udik ini. Orang-orang saling bersalaman, berjabat tangan dengan tangan kanan, dan tangan kiri memegang handphone. Anak-anak desa, para pemuda kampung kini tidak bisa lagi bercengkrama sepuasnya. Mereka harus sesekali melirik saudara, keluarga, dan kerabat lainnya yang asik menatap gawainya masing-masing. Seolah-olah para pemudik itu sedang menunjukkan simbol kemajuan dan kemapanan, kekinian kata orang-orang ibu kota. Saat-saat seperti itulah orang-orang desa benar-benar merasa kampungan, ketinggalan jaman. Sterotyping yang turut disebarkan melalui sinetron-sinetron. Sekarang, musim itu telah usai. Para pemudik telah kembali ke kota, tempat segala kemajuan, kemapanan dan kekinian itu. Mudah-mudahan mudik kali ini bisa membawa

Bulan Bersinar dari Timur

Sebut saja Bulan, pastinya bukan nama sebenarnya. Namun, dia memiliki kemiripan dengan bulan, bersinar di malam hari. Ketika matahari mulai terbenam, seperti halnya bulan, Bulan pun terbit dengan manisnya. Namun, ketika matahari sudah terbit di pagi hari, dan bulan sudah terbenam, Bulan masih saja bersinar dengan keceriaannya yang sangat menggemaskan. Seperti kanak-kanak, Bulan selalu tersenyum dan tertawa. Indah sekali. Asalnya dari Jawa Barat. Di bawah sinar lampu yang temaram, dia menyebutkan sebuah daerah yang tidak terlalu asing di telingaku. Sebelum akhirnya sampai di tanah ini, dulunya ia bekerja di Lampung. “Capek bang” kata dia, memberi alasan mengapa dia berhenti di sana dan memilih kehidupan baru di Papua. “Di sana kami harus bekerja sampai jam 4 pagi setiap hari. Di sini lebih enak, cukup sampai jam 1 pagi. Aku jadi punya waktu istirahat yang cukup”. Aku meminta dia berkisah lebih banyak. “Aku hamil waktu masih SMA, dan pacarku tidak mau bertanggung jawab.