Suatu hari, 21 Juni 2007
Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam kurang sepuluh menit, ketika mereka sepakat untuk melangkah pulang. Langkah demi langkah melewati lorong jalan yang gelap, tidak begitu gelap, berbelok ke kiri, lurus, lalu ke kanan, melewati pos penjagaan kompleks perumahan, sambil memberi salam kepada para penjaga sebagai sebuah kewajiban, lalu melangkah di tepi jalan raya, yang sampai semalam ini seperti tiada hentinya dilalui oleh orang-orang yang pulang kerja. Sebuah potret beringasnya kota. Sambil sesekali bercakap-cakap, dengan wajah kebahagiaan yang disembunyikan, memberikan kesempatan pada keangkuhan, mereka menuju sebuah bangunan bertingkat berbentuk bilik-bilik kamar yang dihuni oleh sekian banyak orang. Beberapa diantaranya saling mengenal satu dengan yang lain, tetapi lebih banyak yang tidak. Bukan masalah buat mereka. Pembicaraan melompat dari satu topik ke topik yang lain. Mereka tersenyum dalam setiap topik pembicaraan, merespon sebanyak mungkin, dan bertanya sedetail mungkin. Hanya untuk menunjukkan bahwa masing-masing tertarik pada yang lain, dapat menjadi pendengar yang baik, tertarik pada cerita yang didengarkan, hanya agar sipencerita tidak merasa diabaikan. Akan tetapi, sesekali ketika mereka saling beradu pandang, melihat jauh kedalam, mereka sama-sama maklum, bahwa dia tidak tertarik pada apa yang aku ceritakan, dan aku juga tidak tertarik pada cerita-ceritanya. Aku tersenyum bukan karena menariknya topik pembicaraan, tapi aku tersenyum pada kehadirannya, pada kebahagiaannya, dan pada kerinduanku padanya.
Setelah mencapai anak tangga terakhir, keduanya menuju sebuah kamar yang menghadap ke barat, kedua dari ujung. Tampak salah satu dari mereka adalah tuan kamar, dan yang lain adalah tamu. Sambil melangkah masuk, sang tamu masih berusaha keras untuk mengatur sikap agar tampak sopan di hadapan tuan kamar. Sang tamu, seorang lelaki dari seberang, masih tampak kelelahan. Sang tuan kamar, seorang wanita. Cantik. Keduanya kelihatan sebaya, duapuluhan lebih sedikit, belum lama kenal, dan tampak seolah-olah sudah saling mengenal sejak bertahun-tahun yang lalu.
Sejenak beberapa saat suasana membisu. Pikiran melayang, menerawang, menembus dinding ruang dan waktu, kembali ke masa lalu. Sang gadis mencoba mengingat-ngingat bayangan yang muncul di kepalanya. Bayangan seseorang yang tidak ia sukai, mungkin dibencinya, tampak mirip dengan lelaki yang sekarang duduk di hadapannya. Namun ia ragu apakah ini orangnya. Ia mencoba mengingkarinya. ”tidak mungkin.” pikirannya bertingkah. ”tidak mungkin, lelaki itu angkuh, sombong, sok pintar, sangat menjengkelkan, dan aku sama sekali tidak tertarik untuk mengenalnya, apalagi membicarakan tentangnya”. ”dan dia yang duduk di depanku ini, sama angkuhnya, tapi tidak sombong, tulus, teduh, dan yang paling penting aku nyaman dengannya”. Pikiran itu terus bergejolak, sambil sesekali disembunyikan oleh tata krama seseorang yang sedang menerima tamu, menjelaskan hal-hal yang perlu diketahui oleh sang tamu, dan bersikap sedemikian rupa agar sang tamu merasa nyaman di ruangan itu. Lalu tiba-tiba hatinya berbisik, mengusik kemapanan pikiran. Hati yang mulai tumbuh, hati yang telah mengintip kehidupan, hati yang mulai mengisi dunia. ”akuilah, dia yang dihadapanmu ini adalah orang yang selama ini tidak engkau sukai, yang mungkin engkau benci, yang telah engkau membangun benteng dari jiwanya, yang sangat menjengkelkan dan memuakkan waktu pertama kali bertemu dengannya. Tolonglah, beri aku kesempatan, aku sudah lelah engkau abaikan, aku capek tidak dipedulikan. Dengarkanlah aku kali ini saja”. Wanita itu tersenyum, membiarkan hati menguasai dirinya. Pelan-pelan ia mengakuinya.
Sang tamu, sang lelaki, yang sedari tadi terus mengamati pergolakan itu, memakluminya. Ia juga mengalami hal yang hampir sama. Ia masih belum yakin wanita yang bersamanya kini adalah yang dulu sempat menjadi objek pikirannya. Ada sesuatu yang pernah ingin ia sampaikan, menertawakan persembunyian wanita itu, sandiwara yang dibangun, bak sebuah pertunjukan drama. Namun, keangkuhannya dulu membuatnya mengabaikan semua tentang wanita. Ia hanya mencoba tersenyum dalam hati jika ekor matanya sempat menangkap si wanita, yang tentunya selalu dengan topeng kebanggaannya. Sebuah bayangan masa lalu yang terasa begitu singkat. Dia ingin bercerita banyak, tapi tidak kuasa mengendalikan rasa rindu yang mendalam. Ia tidak mampu menemukan kata-kata yang lebih baik untuk menggambarkan kebahagiannya, selain memandang wajah si wanita, melirik matanya, dan menikmati hembusan nafasnya. Ia membiarkan dirinya dikuasai oleh cinta. Dan nalurinya berkata yang ini beda. Ia merasakan sebuah dentuman keras di dadanya, mengusik kedingingan jiwanya, hanya lewat nada lembut manja si wanita. Perasaannya melambung, melayang tinggi, lalu masuk kedalam mimpi, tanpa mengucapkan banyak kata.
Suara pintu kamar yang diketuk membangunkan sang tamu dari tidurnya. Terdengar suara lembut dari luar. Tidak salah lagi, itu suara wanita tuan kamar. Ia membangunkan untuk shalat subuh. Tampaknya mereka cukup religius. Sesaat si lelaki teringat, sebelum ia tidur semalam, si wanita pamit untuk beranjak tidur. Di kamar sebelah. Suatu yang sebenarnya tidak ia harapkan sebelumnya. Entah dengan si wanita. Setelah sholat, si lelaki melanjutkan tidurnya, dan si wanita memilih menikmati wajah teduh si lelaki.
Dengan meninggalkan secarik kertas berisi beberapa pesan dan sebuah cerita singkat, wanita itu kemudian berangkat untuk memulai harinya sebagai seorang pekerja yang baik, membiarkan si lelaki terbaring dalam sayu mata yang kelelahan.
Beberapa saat kemudian, si lelaki terbangun, dunia telah memanggilnya. Dia yang tampak ringan, tanpa beban, tanpa masalah, dan hidup seolah hanya untuk dirinya sendiri. Dia harus segera melanjutkan kisahnya. Sejenak ia sadar, ada bagian yang hilang, ada relung yang hampa. Tiba-tiba ia merasa sepi. Jiwanya berontak. Ia menginginkan wanitanya hadir disampingnya saat itu juga. Namun itu tidak mungkin, ia tahu itu.
Keanggkuhan menghentakkan dirinya dalam kesadaran seketika. Dan ia harus segera beranjak. Ia memutuskan untuk mengeluarkan perasaannya, cintanya, dan hatinya lalu menitipkannya pada sepotong cokelat yang ditinggalkan untuk wanitanya, sebagai tanda terima kasih atas kebahagiaan yang ia rasakan semalam, semalam yang sangat singkat, namun begitu berkesan. Sepotong cokelat yang berisi permohonan untuk berbagi manisnya kehidupan bersama-sama, dalam rasa yang sama, dalam indahnya kecupan sayang yang sama. Sepotong cokelat yang selalu merindukan pertemuan kembali dengan bagian lain yang telah pergi.
dari manakah Tuhan mendapatkan ide menciptakan wanita?....
eki
Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam kurang sepuluh menit, ketika mereka sepakat untuk melangkah pulang. Langkah demi langkah melewati lorong jalan yang gelap, tidak begitu gelap, berbelok ke kiri, lurus, lalu ke kanan, melewati pos penjagaan kompleks perumahan, sambil memberi salam kepada para penjaga sebagai sebuah kewajiban, lalu melangkah di tepi jalan raya, yang sampai semalam ini seperti tiada hentinya dilalui oleh orang-orang yang pulang kerja. Sebuah potret beringasnya kota. Sambil sesekali bercakap-cakap, dengan wajah kebahagiaan yang disembunyikan, memberikan kesempatan pada keangkuhan, mereka menuju sebuah bangunan bertingkat berbentuk bilik-bilik kamar yang dihuni oleh sekian banyak orang. Beberapa diantaranya saling mengenal satu dengan yang lain, tetapi lebih banyak yang tidak. Bukan masalah buat mereka. Pembicaraan melompat dari satu topik ke topik yang lain. Mereka tersenyum dalam setiap topik pembicaraan, merespon sebanyak mungkin, dan bertanya sedetail mungkin. Hanya untuk menunjukkan bahwa masing-masing tertarik pada yang lain, dapat menjadi pendengar yang baik, tertarik pada cerita yang didengarkan, hanya agar sipencerita tidak merasa diabaikan. Akan tetapi, sesekali ketika mereka saling beradu pandang, melihat jauh kedalam, mereka sama-sama maklum, bahwa dia tidak tertarik pada apa yang aku ceritakan, dan aku juga tidak tertarik pada cerita-ceritanya. Aku tersenyum bukan karena menariknya topik pembicaraan, tapi aku tersenyum pada kehadirannya, pada kebahagiaannya, dan pada kerinduanku padanya.
Setelah mencapai anak tangga terakhir, keduanya menuju sebuah kamar yang menghadap ke barat, kedua dari ujung. Tampak salah satu dari mereka adalah tuan kamar, dan yang lain adalah tamu. Sambil melangkah masuk, sang tamu masih berusaha keras untuk mengatur sikap agar tampak sopan di hadapan tuan kamar. Sang tamu, seorang lelaki dari seberang, masih tampak kelelahan. Sang tuan kamar, seorang wanita. Cantik. Keduanya kelihatan sebaya, duapuluhan lebih sedikit, belum lama kenal, dan tampak seolah-olah sudah saling mengenal sejak bertahun-tahun yang lalu.
Sejenak beberapa saat suasana membisu. Pikiran melayang, menerawang, menembus dinding ruang dan waktu, kembali ke masa lalu. Sang gadis mencoba mengingat-ngingat bayangan yang muncul di kepalanya. Bayangan seseorang yang tidak ia sukai, mungkin dibencinya, tampak mirip dengan lelaki yang sekarang duduk di hadapannya. Namun ia ragu apakah ini orangnya. Ia mencoba mengingkarinya. ”tidak mungkin.” pikirannya bertingkah. ”tidak mungkin, lelaki itu angkuh, sombong, sok pintar, sangat menjengkelkan, dan aku sama sekali tidak tertarik untuk mengenalnya, apalagi membicarakan tentangnya”. ”dan dia yang duduk di depanku ini, sama angkuhnya, tapi tidak sombong, tulus, teduh, dan yang paling penting aku nyaman dengannya”. Pikiran itu terus bergejolak, sambil sesekali disembunyikan oleh tata krama seseorang yang sedang menerima tamu, menjelaskan hal-hal yang perlu diketahui oleh sang tamu, dan bersikap sedemikian rupa agar sang tamu merasa nyaman di ruangan itu. Lalu tiba-tiba hatinya berbisik, mengusik kemapanan pikiran. Hati yang mulai tumbuh, hati yang telah mengintip kehidupan, hati yang mulai mengisi dunia. ”akuilah, dia yang dihadapanmu ini adalah orang yang selama ini tidak engkau sukai, yang mungkin engkau benci, yang telah engkau membangun benteng dari jiwanya, yang sangat menjengkelkan dan memuakkan waktu pertama kali bertemu dengannya. Tolonglah, beri aku kesempatan, aku sudah lelah engkau abaikan, aku capek tidak dipedulikan. Dengarkanlah aku kali ini saja”. Wanita itu tersenyum, membiarkan hati menguasai dirinya. Pelan-pelan ia mengakuinya.
Sang tamu, sang lelaki, yang sedari tadi terus mengamati pergolakan itu, memakluminya. Ia juga mengalami hal yang hampir sama. Ia masih belum yakin wanita yang bersamanya kini adalah yang dulu sempat menjadi objek pikirannya. Ada sesuatu yang pernah ingin ia sampaikan, menertawakan persembunyian wanita itu, sandiwara yang dibangun, bak sebuah pertunjukan drama. Namun, keangkuhannya dulu membuatnya mengabaikan semua tentang wanita. Ia hanya mencoba tersenyum dalam hati jika ekor matanya sempat menangkap si wanita, yang tentunya selalu dengan topeng kebanggaannya. Sebuah bayangan masa lalu yang terasa begitu singkat. Dia ingin bercerita banyak, tapi tidak kuasa mengendalikan rasa rindu yang mendalam. Ia tidak mampu menemukan kata-kata yang lebih baik untuk menggambarkan kebahagiannya, selain memandang wajah si wanita, melirik matanya, dan menikmati hembusan nafasnya. Ia membiarkan dirinya dikuasai oleh cinta. Dan nalurinya berkata yang ini beda. Ia merasakan sebuah dentuman keras di dadanya, mengusik kedingingan jiwanya, hanya lewat nada lembut manja si wanita. Perasaannya melambung, melayang tinggi, lalu masuk kedalam mimpi, tanpa mengucapkan banyak kata.
Suara pintu kamar yang diketuk membangunkan sang tamu dari tidurnya. Terdengar suara lembut dari luar. Tidak salah lagi, itu suara wanita tuan kamar. Ia membangunkan untuk shalat subuh. Tampaknya mereka cukup religius. Sesaat si lelaki teringat, sebelum ia tidur semalam, si wanita pamit untuk beranjak tidur. Di kamar sebelah. Suatu yang sebenarnya tidak ia harapkan sebelumnya. Entah dengan si wanita. Setelah sholat, si lelaki melanjutkan tidurnya, dan si wanita memilih menikmati wajah teduh si lelaki.
Dengan meninggalkan secarik kertas berisi beberapa pesan dan sebuah cerita singkat, wanita itu kemudian berangkat untuk memulai harinya sebagai seorang pekerja yang baik, membiarkan si lelaki terbaring dalam sayu mata yang kelelahan.
Beberapa saat kemudian, si lelaki terbangun, dunia telah memanggilnya. Dia yang tampak ringan, tanpa beban, tanpa masalah, dan hidup seolah hanya untuk dirinya sendiri. Dia harus segera melanjutkan kisahnya. Sejenak ia sadar, ada bagian yang hilang, ada relung yang hampa. Tiba-tiba ia merasa sepi. Jiwanya berontak. Ia menginginkan wanitanya hadir disampingnya saat itu juga. Namun itu tidak mungkin, ia tahu itu.
Keanggkuhan menghentakkan dirinya dalam kesadaran seketika. Dan ia harus segera beranjak. Ia memutuskan untuk mengeluarkan perasaannya, cintanya, dan hatinya lalu menitipkannya pada sepotong cokelat yang ditinggalkan untuk wanitanya, sebagai tanda terima kasih atas kebahagiaan yang ia rasakan semalam, semalam yang sangat singkat, namun begitu berkesan. Sepotong cokelat yang berisi permohonan untuk berbagi manisnya kehidupan bersama-sama, dalam rasa yang sama, dalam indahnya kecupan sayang yang sama. Sepotong cokelat yang selalu merindukan pertemuan kembali dengan bagian lain yang telah pergi.
dari manakah Tuhan mendapatkan ide menciptakan wanita?....
eki
so deep..you wrote and descibe it very clearly...
ReplyDeleteyou made me read this story over and over (with soundtrack:Never Find someone like you)
Well done Q...