
Pukul 08.00 pagi tim berangkat dari wisma perusahaan menuju lokasi yang direncanakan. Tim-yang terdiri dari dua orang berusia empat puluh delapanan tahun, para pejabat sebuah perusahaan pupuk negara, dan aku yang berusia setengah dari mereka dan bukan siapa-siapa, sampai pada daerah terakhir yang dapat dijangkau oleh kendaraan darat yang kami tumpangi pada sore hari. Sesuai rencana kami akan menginap di tempat itu. Sebuah pulau kecil di tengah sungai. Di sebuah hotel terbaik dan satu-satunya di desa itu. Dan daerah terakhir yang terjangkau signal telepon seluler. Keesokan paginya, setelah sarapan, tepat pukul 07.00, suara speed boat yang mengangkut tim meraung-raung di tengah sungai. Perjalananpun dilanjutkan. Menurut informasi, perjalanan ini akan ditempuh selama 2 jam sampai di ibukota kecamatan lokasi sasaran, biayanya sekali antar 2 juta rupiah. Ternyata itu betul. Dari ibukota kecamatan, dibantu oleh 2 orang porter lokal, pak Sumpa dan pak Ijum, tim langsung menuju titik camp yang tidak direncanakan. Dengan menumpang sebuah mobil hardtop merah karatan keluaran tahun 1978, yang biayanya sekali ngantar 1 juta, yang kedua pintunya tidak bisa dibuka, yang atapnya terbuat dari bahan oplosan besi dan kayu, yang tangki bensinnya menggunakan jerigen, yang navigatornya duduk di depan supir agak ke kiri di atas kap mesin, yang kaca depannya hanya separuh, dan yang setelah lebih dua puluh kilometer berjalan kami baru (diberi) tahu ternyata tidak punya rem, tim bergerak perlahan memasuki hutan Borneo.
Kilometer 31, sebuah lembah tepian sungai kecil, itulah camp yang dimaksud. Pondok rapuh dengan tinggi 1 meter dari tanah, luas 3x4 meter, dan kemiringan 10 derajat menjadi tempat menyimpan barang-barang dan beristirahat. Juga tempat menginap. Pekerjaan pertama adalah memasang terpal di bagian atas pondok sebagai penangkal hujan. Karena hari menjelang sore dan suhu mulai dingin, pak Sumpa mempersiapkan dapur untuk menyalakan api dan memasak air. Posisi dapur cukup baik, berada di atas pondok, di salah satu sudut. Mungkin awalnya dibuat sekaligus untuk tempat berdiang, mengusir dinginnya malam. Beberapa saat kemudian, sebelum api dinyalakan, dapurnya ambruk. Jatuh ke tanah. Dugaanku meleset. Aku pikir pak Sumpa yang ambruk. Ternyata hanya dapurnya.
Lalu hujan turun dengan lebatnya. Aroma tanah basah sangat aku nikmati. Aku rindu kekasihku.
Setelah menikmati segelas teh panas hasil olahan dapur yang dipindahkan ke luar pondok, aku berniat langsung bergerak menuju titik yang dimaksud pak Sumpa. Tampak sangat heroik, dan menggentarkan tim yang lain, bahkan sang porter sendiri. Betapa tidak, hari sudah sore, dan perjalanan hanya dapat ditempuh dengan berjalan kali selama beberapa jam. Mau nginap dimana?..Sungai yang akan disusur juga dalam keadaan banjir, resikonya terlalu besar. Dengan sok merasa kecewa, aku mengiyakan untuk menunda perjalanan besok pagi.
Malam mulai menyelimuti pondok, setelah makan malam dengan menu mie instant yang sarat dengan gizi, satu-satu dari kami mulai mengambil posisi tidur. Aku mendapat tempat diantara anggota tim lain dengan para porter. Sebelum tidur aku mengingatkan agar berhati-hari dan waspada jangan sampai nanti ada bernasib sama dengan dapur tadi. Ambruk ke lantai dasar.
Malam di hutan ternyata dingin. Kalau dingin seperti ini biasanya aku ingin memeluk seseorang. Tapi onggokan daging disekitarku tidak ada yang menarik untuk dipeluk. Jangankan menarik, layak saja tidak.
Kesokan paginya tim berangkat menuju lokasi yang dimaksud. Sungai yang jernih sangat membatu perjalanan. Setelah berjalan selama beberapa jam, dan ternyata salah menempuh jalan, tim sampai di lokasi. Tersesat di jalan yang benar. Saatnya untuk mengeluarkan semua peralatan dalam nuansa ilmiah yang sangat serius. Sebuah kompas yang baru saja aku pelajari cara penggunaannya, sebuah palu, dan sebuah notes lengkap dengan bolpointnya. Setelah melakukan beberapa kali pengukuran yang mengundang perhatian anggota tim lain-karena mereka sama sekali tidak mengetahuinya-, aku mencatat beberapa angka dan huruf di notesku hasil pengukuran tadi. Setelah dua jam bekerja dan setelah merasa cukup dengan semua yang aku dapatkan aku meminta tim untuk segera kembali ke camp.
Cukup untuk hari ini. Besok kami harus berpindah camp, yang pada akhirnya aku tahu bahwa camp ini sedikit lebih baik. Berjarak sekitar 9 kilometer dari camp sebelumnya, tim menempati sebuah pondok kecil di tepian sungai. Secara struktur pondok ini lebih kuat, tapi letaknya tidak lebih aman. Aku memperhatikan ada bekas-bekas kayu yang terseret banjir disekitarnya. Aku mulai mengingat Tuhan, dan meminta-Nya untuk sedikit berbaik hati untuk tidak menurunkan hujan lebat malam ini. Biasalah, orang kalau ada maunya pasti pakai bawa-bawa nama Tuhan. Dan ternyata permintaanku tidak terkabulkan, Dia menurunkan hujan lebat yang membuatku harus meminta sesuatu lagi pada-Nya. Dia benar-benar sedang pamer kekuasaan malam itu, dan memaksaku untuk mengakui kehebatan dan keunggulann-Nya. Aku meminta-Nya untuk tidak membanjirkan sungai ini. Kali ini dengan penuh harap. Dan ternyata berhasil. Kami dapat bangun pagi dengan selamat. Aktifitas berlajut seperti hari-hari sebelumnya.
Setelah beberapa hari di hutan, rombongan penjemput datang. Masih dengan mobil yang sama. Kali ini aku memutuskan untuk duduk di belakang, pada bak mobil yang terbuka. Paling tidak lebih mudah untuk loncat keluar kalau nanti di jalan ada apa-apa dengan kendaraan ini. Setidaknya aku sudah tahu bahwa mobil ini tidak ada remnya.
Comments
Post a Comment