The Syahrir, manusia biasa
Prolog
Jarum jam menunjukkan pukul 23 lewat 32 menit, ketika aku masih saja terus berusaha untuk memejamkan mata. Tapi tampaknya akan sia-sia. Pikiran masih saja terganggu. Lalu aku putuskan untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan, kisah di sebuah siang -menjelang sore-. Tampak Eri sedang main game sambil nonton TV, Probo masih saja mengedit tulisannya, dan Idris entah kemana. Teman-teman masa kuliah.
Sebuah Siang Menjelang Sore
Telepon berdering, terdengar suara dari seberang sana, entah sejauh apa aku tidak tau pasti. Yang aku tau adalah seseorang atau mungkin sekelompok orang sedang membutuhkan tim untuk pekerjaan di sebuah daerah di Kalimantan. Pekerjaan pengukuran topografi tepatnya. Berangkat dari niat baik untuk saling menguntungkan masing-masing pihak, kami kemudian mendiskusikan beberapa hal, tepatnya aku menjawab banyak pertanyaan darinya. Intinya aku menyanggupi pekerjaan itu dengan catatan bahwa pekerjaan itu akan aku outsourcing-kan ke kampus/UPN, hitung-hitung memberi feedback ke kampus sebagai kompensasi 3,5 tahun aku pernah sekolah di sana, atau mungkin setidaknya berusaha ikut mensejahterakan kehidupan kampus, walaupun kecil. Salah satu jargon kampanye di TV mengatakan ”hidup adalah perbuatan”. Aku kemudian menjelaskan bahwa dalam pekerjaan sejenis kami biasanya menggunakan alat Total Station yang dikombinasikan dengan Theodolit Semi Digital tergantung kebutuhan dan permintaan klien.
Beberapa waktu setelah pembicaraan ditelepon, sebuah pesan singkat masuk via handphone, yang intinya mengatakan tidak dapat bekerjasama dalam pekerjaan ini, lalu disertai pertanyaan ”kok masih pakai TO (Theodolite)?”.
Sekilas tidak ada yang salah dari respon dan pertanyaan ini, tapi mungkin ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.
Pertama, apa yang salah dengan Theodolite? Sepanjang yang aku tahu, TO itu adalah alat untuk melakukan pengukuran topografi dan bisa diandalkan akurasinya. Berbeda dengan penggunaan televisi untuk memasak. Itu sudah jelas-jelas salah karena televisi memang bukan alat masak. Sekiranya TO bukanlah alat untuk pengukuran topografi atau alat yang tidak dapat diandalkan akurasinya, maka semua tambang yang ada di Indonesia-setidaknya tambang-tambang angkatan tua itu, baik yang raksasa ataupun teri-harus dibubarkan atau ditutup, karena mereka telah menggunakan alat yang salah untuk mengukur topografi pada saat awal kegiatan-pasti mereka menggunakan TO, bukan TS ataupun alat lain yang katanya sangat modern itu, waktu itu jelas belum ada-, atau tambang-tambang itu dibubarkan karena semua data yang mereka gunakan itu tidak valid karena akurasi alat yang digunakan tidak benar.
Kedua, apakah Theolodite sudah dianggap ketinggalan jaman? Mungkin. Dan mungkin inilah yang menjadi masalah. Theodolite mungkin dianggap telah ketinggalan jaman alias kuno di mata sang pengguna jasa. Kalau ini yang terjadi maka sang pengguna jasa haruslah diingatkan sekali lagi mengenai cara berpikir tentang substansi dan hakekat, bahwa subtansinya adalah bagaimana pekerjaan itu dapat terlaksana dengan baik-dan itu hubungannya dengan umur alat, bukan dengan TO atau bukan TO-nya- dan hakekatnya TO itu adalah alat untuk mengukur topografi. Jadi haruslah dilakukan penelusuran lebih jauh terhadap hakekat untuk dapat menjawab substansi permasalahan. Selama hakekat dapat menjawab substansi permasalahan aku pikir tidak masalah. Entah di pikiran orang lain, mungkin masalah. Dan bagaimana jika setelah memikirkan substansi dan hakekat itu ternyata kita masih sampai pada kesimpulan bahwa TO tetap saja sudah ketinggalan jaman? Bagi yang masih sampai pada kesimpulan ini silahkan membakar atau membuang jauh-jauh kitab suci masing-masing, karena semua kitab suci itu pastilah umurnya sudah ribuan tahun, sudah ketinggalan jaman. Yang islam silahkan membakar Al-Qur’an-nya dan yang kristen silahkan membuang Al-Kitab-nya, karena Al-Qur’an diturunkan dipenghujung tahun 600-an masehi dan Al-Kitab sendiri disusun jauh sebelum itu, tahun 40an masehi, dan karena itu, SUDAH KETINGGALAN JAMAN.
Ketiga, ”kok masih pakai TO?” ini sepertinya sangat terkait dengan penjelasan di atas. Jawabnya adalah suka-suka orang yang menggunakan alat itu dong, yang penting adalah peforma dari surveyor yang mungkin lebih familiar dengan alat tertentu sehingga hasil yang diperoleh lebih maksimal. Sebagai contoh, saya tidak yakin bahwa semua mahluk yang membaca tulisan ini menggunakan komputer keluaran terbaru, dengan semua perangkat terbaru pula. Mungkin ada yang masih menggunakan processor pentium IV misalnya, atau dual core. Bagi yang menggunakan OS Windows, mungkin ada-dan pastilah masih ada- yang menggunakan Microsoft selain Vista dan office selain 2007. Pertanyaannya sama, kok masih pake XP, atau kok masih pake office 2003? Jawabannya juga sama, suka-suka aku dong, aku nyaman dengan ini, dan bekerja dengan benda-benda ini ternyata membuatku lebih optimal. Bagaimana sekiranya kita semua dipaksa untuk menggunakan semua perangkat-perangkat terbaru? Jawabanya mungkin bermacam-macam tergantung dari sudut pandang masing-masing. Yang berprofesi sebagai pengguna alat mungkin tidak begitu senang karena setiap keluar perangkat jenis baru, maka mereka harus beradaptasi lagi dengan yang baru-dan itu butuh waktu-, dan yang pasti harus mengeluarkan biaya lagi untuk itu. Bagi mereka yang berprofesi sebagai pedagang-atau agen atau apalah namanya-perangkat baru itu pastilah sangat senang karena dengan begitu dagangannya akan terus laris manis, walaupun yang diuntungkan pastinya sang tuan produk. Dari sudut pandang yang lebih kritis, ini dapat dianggap sebagai sebuah bentuk kekerasan dan penjajahan jenis baru dari para produsen perangkat yang notabene adalah negara-negara maju, terhadap negara-negara miskin. Kita dipaksa untuk terus mengikuti, mengekor, dan memelas kepada mereka dengan embel-embel produktifitas, efiesensi, dan segala macam bentuk kecanggihan yang mereka tawarkan lewat apa yang mereka sebut ”teknologi”. Lalu, kapan kita majunya???, kapan kita punya waktu untuk mengembangkan diri dan menciptakan produk kita sendiri kalau waktu kita hanya habis untuk mempelajari dan menerapkan apa yang telah mereka buat dan kembangkan? Bukankah ini yang namanya perbudakan masa kini?
Repotnya lagi adalah kita ikut-ikutan menjadi agen penindasan dan penjajahan terhadap bangsa sendiri, saling menghakimi satu dengan yang lain berdasarkan alat atau ”teknologi” yang ada, tidak dari kemampuan atau hasil yang diberikan, apalagi proses yang dilalui. Toh juga teknologi itu bukan kita yang buat, atau jangan-jangan kita merasa yang buat teknologi itu? Pertanyaan sederhana yang relevan adalah bagi anda yang familiar dengan menggunakan komputer, kalau anda menyusun laporan apakah anda akan ditanya menggunakan komputer pentium berapa? Atau office berapa? Apa yang muncul di pikiran anda jika anda familiar atau merasa akan jauh lebih optimal dengan office 2003 lalu muncul orang dari antah berantah yang mengatakan ”maaf kami tidak bisa bekerjasama dengan anda dalam penyusunan laporan ini karena anda masih menggunakan office 2003”?
Sebuah Refleksi
Tulisan ini mungkin adalah sebuah refleksi bentuk kemarahan, mungkin juga sebuah bentuk kekecewaan. Marah karena ketidakberdayaan untuk menjadi lebih baik, marah karena belum mampu berbuat banyak. Kecewa karena kita masih saja menjadi agen-agen penjajah bagi bangsa sendiri. Kecewa karena ternyata kita masih saja melupakan substansi dalam berpikir dan melupakan hakekat dalam melihat masalah. TS, TO, OS, dan segala macam singkatan-singkatan itu hakekatnya hanyalah alat bagi kita untuk berbuat dan bekerja. Sangat tidak bijaksana bagi kita untuk saling menghakimi dan dihakimi berdasarkan alat-alat tersebut, yang juga bukan milik kita. Ingat kawan, kita masih miskin, dan akan tetap terus miskin jika kita masih menjadi budak teknologi.
Epilog
Lirikanku menangkap penunjuk waktu pukul 01.14 keesokan harinya. Eri masih saja main game, belum pulang, kasihan istrinya. Probo sudah tidur. Idris yang tadi lagi keluar, kini malah terlentang di depan televisi menikmati saat-saat terakhir film kesukaannya. Teman-teman masa kuliah.
Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan, tetapi kepura-puraan, pura-pura jujur, atau pura-pura bohong.
Kejujuran memang menyakitkan bagi telinga yang terbiasa mendengar basa-basi.
Arswendo Atmowiloto, Blakanis.
Comments
Post a Comment