Petang menghantarkanku pada sebuah pemandangan indah matahari terbenam di punggung Gunung Dempo. Kawasan pengunungan yang menawarkan kearifan lokal masyarakat perkebunan teh yang dikelola perusaahaan milik pemerintah, beserta segala kesederhanaan dan keramahannya. Dengan berlatar belakang pemandangan indah ini, aku memandang ke kota Pagar Alam yang mulai tertutup kabut tipis nan sejuk. Kota yang berjarak sekitar 300 km dari Palembang, ibu kota Sumatera Selatan. Kota yang para penduduknya merasa tidak perlu memarkir kendaraan dengan rapi, karena jumlahnya tidak begitu banyak dan pasti ada ruang kosong. Aku menghirup udara segar yang semakin langka aku dapatkan, menahannya seolah-olah tidak ingin melepaskannya, dan menghembuskannya perlahan untuk mendapatkan udara segar lainnya. Tanpa terasa malam datang menjemput. Dari kejauhan tampak cahaya lampu kota yang gemerlap, ada beberapa bagian yang berkedip, mungkin cahanya lampunya lebih redup. Pemandangan yang menarik. Malam semakin larut, udara semakin dingin, lalu aku masuk menyelinap di bawah selimut.
Pagi menyambut. Beberapa buah kendararaan roda dua melintas dengan orang-orang yang siap memetik teh di atasnya, lengkap dengan topi caping dan keranjang di punggungnya. Telah lama aku impikan untuk dapat berlari di antara pepohonan teh yang hijau, berada di tengah-tengah para pemetik, bercanda dengan mereka, menyeka keringat karena teriknya mentari, dan tersenyum melihat indahnya pemandangan. Impian yang hampir terwujud di Pangalengan Bandung, tapi gagal karena alam menghantarkanku pada kolam air panas di Cipanas, Garut. Aku dan dua orang teman kemudian menyusul para pemetik teh tersebut. Lokasi pemetikan kali ini tepat di kaki paling atas Gunung Dempo, sekitar 2 km dari villa tempat kami menginap. Dari kejauhan tampak barisan tamanan teh yang berjejer rapi, lurus dengan jarak teratur, seperti barisan tentara yang sedang diinspeksi oleh komandannya. Pelan-pelan pada pemetik memulai pekerjaannya masing-masing, adapula yang masih menyiapkan peralatan karena baru sampai. Salah seorang pemetik bernama Pak Yan, lelaki asal Jawa Barat, menjelaskan bahwa P+3 adalah bagian yang paling baik untuk dipetik. P+3 maksudnya adalah pucuk plus tiga daun teratas. Bagian ini kalau diolah akan menghasilkan teh kualitas tinggi, dengan aroma dan cita rasa yang mengagumkan. Namun sayang, justru bagian inilah yang paling banyak diekspor, tidak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Entah karena alasan harga ekspor yang lebih menguntungkan atau selera teh masyarakat Indonesia yang rendah, aku tidak tahu. Pak Yan juga tidak menjelaskan tentang itu, atau mungkin dia juga tidak tahu.
Barisan pemetik terus bekerja, sambil sesekali bercanda, mereka menggerakkan tangan-tangan lincah mereka pada pucuk-pucuk pohon teh yang masih basah oleh embun pagi. Sebagian kecil diantara mereka menggunakan mesin pemetik yang diimpor dari Jepang dan sebagian besar menggunakan gunting manual yang telah dimodifikasi untuk mempermudah pekerjaan. Jumlah mereka cukup banyak, entah berapa banyak, dan kebanyakan perempuan. Biasanya pemetikan berlangsung antara jam 7 pagi sampai jam 2 siang. Setiap orang bisa menghasilkan antara 60-100 kg daun teh setiap harinya. Setelah pemetikan, daun teh kemudian diangkut ke pabrik yang berjarak sekitar 3 km dari lokasi pemetikan untuk disortir daun-daun yang kurang baik lalu selanjutnya difermentasi menjadi teh yang siap untuk dikonsumsi.
Ingin rasanya untuk ikut memetik teh langsung dari pohonnya. Gayung bersambut, seorang ibu yang aku lupa menanyakan namanya meminjamkan caping dan guntingnya demi memenuhi hasratku. Mulailah aku menggerak-gerakkan tanganku seperti yang mereka lakukan, memilih pucuk-pucuk yang menggiurkan, dan tersenyum melihat hasilnya. Tidak terlalu sulit ternyata, hanya dibutuhkan sedikit keterampilan dan banyak ketekunan dan kesabaran, hal-hal yang tidak aku miliki.
Gunung dempo hanyalah salah satu dari sekian banyak kemewahaan alam panorama pegunungan yang terdapat di negara kita, Indonesia. Ada banyak yang lain, misalnya Kaliurang, Lembang, Puncak Bogor, Sibayak, Malino, dan bahkan Angkasa di Jayapura. Masing-masing punya nuansanya sendiri, namun satu yang pasti bahwa kita (setidaknya aku) tidak akan pernah merasa bosan dan cukup bila mengunjunginya. Belum lagi dengan wisata laut yang dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah dari Merauke sampai Sabang, dari Talaud sampai Rote. Aku sendiri masih ingin terus menikmati kemewahan ini, entah denganmu, kawan. Tapi sekiranya kamu ingin menemukan aroma khas tanah dan air Indonesia, maka jajakilah setiap jengkalnya, tapakilah setiap hastanya, dan teguklah setiap tetesnya, mungkin kita dapat bertemu di puncak kebahagiaan, atau di lembah kearifan masyarakat Indonesia.
Comments
Post a Comment