Rezki Syahrir
Terik mentari menjadi penonton setia siang itu. Angin sepoi-sepoi berhembus diantara dedaunan kelapa yang kering. Ayam jantan kurus mengais-ngais tanah untuk melangsungkan hidupnya yang seolah tidak diperhatikan lagi oleh pemiliknya, sambil sesekali mematuk ke tanah jika mendapat rejeki yang semakin langka baginya. Langit cerah memberi sebuah senyum kecut pada dunia, disambut teriakan oleh lahan persawahan yang kering.
Dikayuhnya sepeda ontel yang nyaris menjadi barang antik itu sekuat tenaga. Sehabis sekolah, sapi piaraan tatangganya menunggu untuk digembalakan. Pekerjaan itu sudah hampir setahun ia lakoni. Semenjak kemarau panjang melanda desanya tahun lalu, sawah-sawah menjadi kering membuat sapi kehilangan pekerjaannya. Anak itu menggembalakan sapi tetangganya untuk menambah penghasilan keluarganya yang sudah tidak memiliki sumber tetap. Deejab nama anak itu, nama yang singkat diberikan oleh Abdullah ayahnya, seorang petani yang menginginkan Deejab untuk mewarisi pekerjaannya.
Seperti hari-hari sebelumnya sehabis Subuh, Deejab harus segera mempersiapkan diri. Sebelum jam setengah enam dia sudah harus berangkat ke sekolah, tempat ia menuntut ilmu bekal hidup kelak dimasa yang akan datang dan penuh dengan tanda tanya.
“Assalamualaikum, Deejab berangkat dulu ya Bu”.
“Waalaikumsalam, hati-hati ya nak”! demikian jawab Ponirah, seorang perempuan setengah baya dari balik tirai bambu usang rumahnya. Pintu segera bergerak menutup seiring dengan kepergian Deejab ke sekolah. Hari-hari pun terlewati seperti sebelumnya. Tidak ada yang aneh pada hari itu, kecuali ketika pukul dua siang saat Deejab pulang dari sekolah dan hendak menggembalakan sapi di padang rumput tandus di sebelah bukit. Sesampainya di depan rumah, ibunya menyambut kedatangan Deejab dengan tangis. Tampak wajah perempuan itu pucat pasi dan sangat terpukul, seolah sesuatu telah menampar jiwa sucinya. Rasa khawatir dan penasaran menyelimuti batin Deejab seketika, seiring isak tangis Ponirah yang tak kunjung reda. Seribu tanya berkecamuk di dalam hatinya antri menunggu giliran untuk dilontarkan. Anak semata wayang yang masih duduk di bangku kelas tiga SLTP ini pun kemudian bertanya kepada ibunya,
“apa gerangan yang telah terjadi bu?”
kembali tangisan menjadi jawaban dari pertanyaan itu. Sampai tiga kali ia mendesak ibunya dan akhirnya perempuan itupun menjawabnya.
“Ayahmu… ayahmu terjatuh dari pohon kelapa milik pak Kades tadi siang. Sekarang ia lagi berada di Puskesmas ditemani oleh paman Herman”.
Jawaban itu sangat tidak diharapkan oleh Deejab. Wajahnya menjadi pucat dan telapak tangannya mengeluarkan keringat. Namun, ia mencoba untuk tegar sambil berusaha melontarkan pertanyaan kedua yang sedari tadi menanti.
“Memang kenapa ayah memanjat pohon kelapa milik pak Kades bu?” sebuah kenyataan yang sangat mengherankan bagi Deejab mengingat pak Kades terkenal orang yang sangat pelit di desanya. Pertanyaan itu meluncur dari mulut Deejab dengan cepatnya.
“Pak Kades berniat memberi ayahmu upah jika ia mampu untuk memetik semua buah kelapa di halaman rumahnya”.
Isak tangis Ponorah agak mereda lalu berganti dengan pandangan kosong kearah ujung sawah tak berpadi dikaki bukit. Beberapa menit kemudian dia mencoba untuk melontarkan sepatah kata dari bibir kusutnya. Ternyata kebiasaan makan Sirih hanya membuat bibirnya semakin tidak keruan, kecuali gigi-gigi putih yang terpampang di ujung lidah tampak kuat, membuat terkadang ia sombong dihadapan perempuan-perempuan seusianya dikampung itu.
“Kamu kan tahu sendiri kalau keluarga kita sudah sangat kekurangan uang nak”.
Jawaban Ponirah memberi pelengkap dari apa yang telah Deejab rasakan selama ini. Kemarau panjang telah memporak-porandakan kampung milik mereka yang dihuni oleh penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Orang-orang menjadi kehilangan mata pencaharian dan dipaksa untuk beralih kerja yang lain. Mereka tidak mungkin terus bertahan dengan kondisi seperti ini. Tuntutan hidup yang terus bertambah membuat mereka semakin terdesak dan rela untuk melakukan apa saja untuk mendapatkan sesuap nasi dan sekeping receh, termasuk menjilat ludah dari apa yang telah lontarkan sendiri ataupun kesepakatan jiwa-jiwa yang penuh dengan rasa kekeluargaan. Tidak ada kepastian sampai kapan mereka akan terus begini. Hamparan padang hijau dan sawah menguning menjadi fatamorgana yang sangat menyakitkan. Beberapa bulan lalu sempat terdengar isu bahwa desa mereka telah mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk membuat pengairan dari desa seberang untuk mengatasi permasalahan kemarau panjang ini. Desa tetangga mereka memang terkenal memiliki pengairan yang sangat bagus, diambil dari bendungan sebuah sungai besar yang terletak enam kilometer dari desa itu, sehingga walaupun kemarau panjang berlangsung penduduk tetap dapat menjalani kehidupan mereka sebagaimana biasanya. Kedua desa itu hanya dipisah oleh sebuah bukit dan sebuah sungai tak berair namun keadaannya sangat bertolak belakang. Deejab memang sempat beberapa kali menanyakan bantuan itu kepada paman Herman yang bekerja di Kantor Desa, namun ia mengaku tidak tahu-menahu dengan hal itu.
“Itu adalah urusan pribadi pak Kades, dan kami tidak ada seorangpun yang mengetahuinya”, jawab paman Herman suatu sore ketika Deejab kembali menanyakan hal tersebut kepadanya.
Akhirnya pertanyaan kali itu menjadi yang terakhir dari mulut Deejab tentang dana bantuan desa dan ia hanya bisa penasaran sembari sesekali curiga kepada pak Kades yang semakin hari tanpak semakin makmur itu. Rumahnya paling bagus diantara semua rumah yang ada di kampung membuat penduduk semakin sungkan. Halaman luas di depan rumah membuat ia harus mempekerjakan orang untuk merawat. Anak-anaknya pun semuanya bersekolah di kota, kecuali seorang yang sulung yang tampak mengalami gangguan jiwa. Sebuah kutukan yang dialamatkan kepadanya, kata orang pintar di desa seberang. Anak itulah satu-satunya yang sering membuatnya malu jika ada orang yang bertandang ke rumahnya. Juga menjadi bahan ejekan anak-anak lain di kampung itu yang tidak senang kepada pak Kades, bukan kepada anaknya.
Tak ayal, mendengar berita itu Deejab langsung menuju Puskesmas untuk menjenguk ayahnya. Sesampainya disana ia mendapatkan ayahnya sedang terbaring lemah di bangsal besi karatan milik Puskesmas. Sebuah tamparan keras diterima Deejab ketika ia mengetahuai kalau ayahnya harus segera dirawat serius dan membutuhkan biaya yang mahal. Padahal keluarga mereka sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Semuanya sudah habis dijual termasuk sepetak sawah warisan kakek untuk menutup biaya hidup keluarga dan ongkos sekolah anak kesayangan mereka.
Sekembalinya dari puskesmas, Deejab terus merenung dan berfikir untuk mendapatkan uang. Ia tahu bahwa gaji mengembala sapi tidak mungkin cukup untuk ongkos perawatan ayahnya, dan ia pun tahu tidak mungkin berharap kepada ibunya untuk menanggung biaya itu. Langit mulai gelap dan bulan pun menampakkan wajahnya. Remang-remang pelita mengiringi kegelisahan Deejab. Suara Jangkrik yang tidak merdu tidak mampu memberikan jalan keluar bagimana mendapatkan uang. Keesokan paginya, tidak seperti biasa, Deejab berangkat lebih awal, bahkan tanpa berpamitan. Digenjotnya sepedanya dengan cepat. Sosok tinggi kurus itu meluncur di jalan setapak desa yang keras dan kering, diantarkan oleh suara kokok ayam jantan, dan disaksikan fajar yang mulai menyingsing. Sampai di pertigaan desa ia memutuskan untuk berbelok ke kiri mengambil jalan menuju arah kota. Iya, Deejab ingin pergi ke kota untuk mencari uang. Sebuah tindakan yang baru terpikirkan tadi di jalan. Ternyata pertigaan desa memberinya inspirasi untuk tidak ke sekolah hari ini. Hari menjelang siang, sekitar pukul sembilan pagi ketika ia sampai di kota. Ia menelusuri jalan yang disamping kiri kanannya terdapat rumah-rumah yang besar dan mewah, rumah-rumah orang kaya.
“Seandainya aku seperti mereka, aku tidak perlu bersusah payah seperti ini” gumannya dalam hati melihat sebuah rumah.
Hampir setiap rumah ia masuki dan bertanya adakah pekerjaan buatnya. Tidak seperti yang dibayangkan, ternyata tidak satupun yang mau mempekerjakannya, lalu ia nyaris putus asa. Hingga matahari telah berada sepenggalan, Deejab belum mendapatkan apa-apa. Kemudian ia memutuskan untuk pulang. Keadaan ini terus berlanjut selama beberapa hari hingga orang tua Deejab mengetahui bahwa anaknya telah seminggu tidak masuk sekolah. Suatu petang, di atas sebuah balai bambu usang pemberian paman Herman, ibunya menanyakan perihal ketidakmasukan Deejab ke sekolah selama seminggu ini. Deejab diam tak mau bicara, hanya pandangan mata kekosongan yang ia tampakkan. Ibunya mengerti bahwa Deejab tidak ingin bercerita. Deejab tidak menyangka bahwa berita ini akan sampai juga ke telinga ibunya, padahal ia bermaksud merahasiakan hal ini dari orang-orang termasuk kedua orang tuanya.
Hari menjelang sore ketika Deejab memutuskan untuk pulang dari kota. Ini adalah hari kesepuluh ia tidak masuk sekolah. Ia menelusuri jalan besar yang sepi di pinggiran kota. Sebuah jalan menuju desanya. Akan tetapi diperjalanan ia teringat akan sapi milik tetangganya yang belum ia gembalakan. Hal itu membuatnya kaget dan tegang. Keringat dingin mengucur dari kulit yang tinggal membalut tulang itu. Tubuhnya seakan mendapat kekuatan baru untuk menggenjot sepeda ontelnya sekuat tenaga.
“Aku harus sampai secepatnya untuk mengembalakan sapi itu, pasti aku akan dimarahi nantinya”, gumannya dalam hati. “Aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ini, siapa yang akan menjadi tumpuan keluarga nantinya?, siapa yang akan memberi makan ibu?, siapa yang akan membayar biaya pengobatan bapak, sedangkan aku belum juga mendapatkan pekerjaan tambahan?” dan segelumit kekhawatiran lain terngiang ditelinganya.
Deejab meluncur di jalan sepeti kilat. Beberapa kendaraan yang berada di depan didahuluinya. Dipikirannya hanyalah sapi tetangga yang harus segera ia gembalakan, walaupun pasti sudah terlambat. Hingga ada sebuah mobil menghampiri dan memintanya berhenti. Dengan terkejut Deejab memberhentikan sepedanya. Kembali ia harus menduga-duga apa gerangan yang telah dan akan terjadi kepadanya hari ini. Tetapi ia tidak merasa telah melakukan suatu kesalahan pun selain melupakan sapi tetangganya.
Turun dari mobil itu seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahunan, bercelana training lengkap dengan baju kaosnya. Ia lalu menyapa Deejab dengan ramah,
“Hai nak, siapa namamu?” sapaan yang tidak diawali dengan perkenalan diri terlebih dahulu.
“Deejab pak”.
Dua, tiga, empat dan lima pertanyaan menyusul kepada Deejab membuat ia semakin bingung. Tanpa tahu nama dan maksud si orang aneh, layaknya orang kampung yang lain yang sedang mencari pekerjaan di kota, Deejab menjawab semua pertanyaan dengan polos. Hingga akhirnya lelaki bermobil itu menjelaskan mengapa ia menghampiri Deejab. Rupanya tadi pada saat Deejab meluncur diatas sepedanya dengan kencang, telah membuat orang itu menjadi terkagum-kagum. Orang itu adalah anggota pencari bakat muda untuk dilatih menjadi atlit balap sepeda. Tawaran untuk menjadi atlit pun langsung keluar dari mulut sang pelatih. Dia menjanjikan hal-hal yang membuat Deejab tidak berkedip dan hanya terpana mendengarkannya. Terdorong oleh keadaan ayahnya yang sakit dan membutuhkan biaya pengobatan membuat Deejab tidak berfikir panjang untuk menerima tawaran itu. Sang pelatih senang, lalu ia merogoh koceknya dan mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
“ini untukmu, sebagai tanda terima kasih kamu telah menerima tawaranku”, kata sang pelatih sambil tersenyum.
“terima kasih pak” jawab Deejab sambil mengambil uang yang di sodorkan kepadanya tanpa ragu. Ia berjanji akan menemui orang itu besok pagi di alamat yang tertera pada kartu namanya.
Kegembiraan yang tidak terkira menggumpal di dada Deejab. Kembali sepedanya dikayuh sekuat tenaga. Hanya bayangan wajah-wajah gembira dihadapannya, kegembiraan ibu yang sejak sepuluh hari terakhir ini tak pernah tampak di wajah keriputya, tawa bangga paman Herman yang selama ini telah menjadi orang tua keduanya, dan senyum haru ayah yang akan kembali sehat serta segera berkumpul dengan mereka lagi di rumah, bukan di Puskesmas desa. Ia sudah tidak sabar untuk menceritakan berita gembira ini kepada dunia. Dunia yang selama ini terus menguji keteguhan hatinya, seorang sayaha Tuhan yang menjadi satu-satunya tumpuan harapan orang tuanya. Sembari bersimpuh di depan ibunya dan menyerahkan uang hasil jerih payahnya sendiri.
Matahari mulai tenggelam ketika Deejab melintasi sebuah bukit menuju Desanya. Jalan kecil itu tampak keras. Keringat terasa mulai membasahi seragam sekolah satu-satunya miliknya.
“Aku harus segera sampai di rumah sebelum magrib tiba” gumannya dalam hati.
Laju sepeda itupun semakin dikencangkannya. Dengan lincah ia melalui kelokan-kelokan kecil setapak itu. Kebiasaan bersepeda sejak dua tahun lalu ternyata memberinya kemampuan yang cukup handal. Dengan yakin ia menambah laju sepedanya untuk dapat melalui tanjakan didepan. Namun tiba-tiba angin berhembus kencang dan debu-debu kering jalanan yang beterbangan. Hembusan debu itu mengenai mata Deejab. Tangan kanan yang semula memegang rem diusapkan ke mata. Akan tetapi tindakan itu justru membuat sepedanya oleng. Perih di bagian mata akhirnya membuatnya kehilangan kendali, dan menabrak sebuah batu lalu masuk kedalam sebuah jurang dangkal. Kepalanya yang terbentur batu gunung tajam memberinya rasa sakit yang teramat sangat. Darah segar mengucur deras dari kepalanya. Tubuhnya terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Seekor semut yang menggigit bibirnya pun terpaksa ia relakan. Rintihan suara meringis kesakitan hanya didengarkan oleh capung-capung yang beterbangan, tetapi mereka tidak mempedulikannya. Isak tangisnya hanya mampu didengarkan oleh lalat-lalat yang mulai menjamah lukanya, tetapi mereka terus menikmatinya. Tidak ada orang lain yang berada ditempat itu. Sebuah jurang sunyi tak bertuan. Hanya tampak anak yang terus mencoba untuk bertahan dengan luka di kepalnya. Sedikit demi sedikit Deejab berusaha untuk bangkit dan merangkak menapaki jurang itu untuk meraih sepedanya. Namun sisa tenaga yang ia miliki hanya mampu untuk membuatnya meringis dan menangis, tapi tidak untuk bangkit dan merangkak. Lalu ia semakin lemah dan terkulai. Semangat untuk memberikan berita gembira itu ternyata tidak mampu untuk mengangkatnya dari jurang, sampai ia pun tidak sadarkan diri. Akhirnya sesosok malaikat datang menghampirinya.
Cahaya mentari semakin memerah, pertanda magrib akan segera datang. Suara-suara jangkrik mulai terdengar, tidak lama kemudian azan magrib berkumandang. Orang-orang bersiap untuk menunaikan shalat magrib bersama di masjid kampung, satu-satunya kebiasaan mereka yang belum berubah seiring dengan masa-masa sulit yang terus melanda. Secara bergantian mereka saling menasehati untuk tetap bersabar menghadapi cobaan ini, sembari melakukan doa bersama agar Tuhan memberi kesabaran dan kekuatan. Sehabis magrib mereka melakukan pengajian rutin yang dipimpin oleh Ustad Bahar, tetua kampung yang sangat dihormati. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat dan kembali memikirkan hari esok mereka yang semakin tidak menentu, apakah mampu mengisi perut atau tidak, apakah mampu membasahi tenggorokan anak-anak mereka atau tidak. Semuanya serba tidak pasti. Kecuali anak-anak kecil yang telah tertidur pulas kehabisan air mata setelah seharian menangis. Air mata yang hanya menjadi senjata kelaparan mereka. Serta sebagian bayi yang masih berharap air susu ibunya kembali bisa membuat mereka tersenyum, setelah sekian lama mereka hanya merasakan puting pahit dan kering tanpa setetes susu pun yang membasahi.
Keesokan harinya orang-orang desa berkabung. Pada hari itu mereka mengebumikan dua orang. Kuburan Deejab bersama ayahnya didampingkan. Jiwa-jiwa yang tenang damai tanpa perlu merasakan kelaparan lagi. Jiwa-jiwa yang telah menunaikan tugasnya di dunia ini dengan tidak kenal mengeluh dan putus asa. Jiwa-jiwa yang meninggalkan seorang perempuan setengah baya dengan duka yang mendalam. Kemana Deejab pergi selama sepuluh hari terakhir menjadi rahasia tak terungkap dihadapan ibunya, dan beberapa lembar uang lima puluh ribuan diletakkan di samping batu nisan bertuliskan Deejab...
Dan hujan pun turun.....
Pojok concat
Dalam untaian keheningan jiwa,
Dan lembutnya nada-nada,
Eki...
Terik mentari menjadi penonton setia siang itu. Angin sepoi-sepoi berhembus diantara dedaunan kelapa yang kering. Ayam jantan kurus mengais-ngais tanah untuk melangsungkan hidupnya yang seolah tidak diperhatikan lagi oleh pemiliknya, sambil sesekali mematuk ke tanah jika mendapat rejeki yang semakin langka baginya. Langit cerah memberi sebuah senyum kecut pada dunia, disambut teriakan oleh lahan persawahan yang kering.
Dikayuhnya sepeda ontel yang nyaris menjadi barang antik itu sekuat tenaga. Sehabis sekolah, sapi piaraan tatangganya menunggu untuk digembalakan. Pekerjaan itu sudah hampir setahun ia lakoni. Semenjak kemarau panjang melanda desanya tahun lalu, sawah-sawah menjadi kering membuat sapi kehilangan pekerjaannya. Anak itu menggembalakan sapi tetangganya untuk menambah penghasilan keluarganya yang sudah tidak memiliki sumber tetap. Deejab nama anak itu, nama yang singkat diberikan oleh Abdullah ayahnya, seorang petani yang menginginkan Deejab untuk mewarisi pekerjaannya.
Seperti hari-hari sebelumnya sehabis Subuh, Deejab harus segera mempersiapkan diri. Sebelum jam setengah enam dia sudah harus berangkat ke sekolah, tempat ia menuntut ilmu bekal hidup kelak dimasa yang akan datang dan penuh dengan tanda tanya.
“Assalamualaikum, Deejab berangkat dulu ya Bu”.
“Waalaikumsalam, hati-hati ya nak”! demikian jawab Ponirah, seorang perempuan setengah baya dari balik tirai bambu usang rumahnya. Pintu segera bergerak menutup seiring dengan kepergian Deejab ke sekolah. Hari-hari pun terlewati seperti sebelumnya. Tidak ada yang aneh pada hari itu, kecuali ketika pukul dua siang saat Deejab pulang dari sekolah dan hendak menggembalakan sapi di padang rumput tandus di sebelah bukit. Sesampainya di depan rumah, ibunya menyambut kedatangan Deejab dengan tangis. Tampak wajah perempuan itu pucat pasi dan sangat terpukul, seolah sesuatu telah menampar jiwa sucinya. Rasa khawatir dan penasaran menyelimuti batin Deejab seketika, seiring isak tangis Ponirah yang tak kunjung reda. Seribu tanya berkecamuk di dalam hatinya antri menunggu giliran untuk dilontarkan. Anak semata wayang yang masih duduk di bangku kelas tiga SLTP ini pun kemudian bertanya kepada ibunya,
“apa gerangan yang telah terjadi bu?”
kembali tangisan menjadi jawaban dari pertanyaan itu. Sampai tiga kali ia mendesak ibunya dan akhirnya perempuan itupun menjawabnya.
“Ayahmu… ayahmu terjatuh dari pohon kelapa milik pak Kades tadi siang. Sekarang ia lagi berada di Puskesmas ditemani oleh paman Herman”.
Jawaban itu sangat tidak diharapkan oleh Deejab. Wajahnya menjadi pucat dan telapak tangannya mengeluarkan keringat. Namun, ia mencoba untuk tegar sambil berusaha melontarkan pertanyaan kedua yang sedari tadi menanti.
“Memang kenapa ayah memanjat pohon kelapa milik pak Kades bu?” sebuah kenyataan yang sangat mengherankan bagi Deejab mengingat pak Kades terkenal orang yang sangat pelit di desanya. Pertanyaan itu meluncur dari mulut Deejab dengan cepatnya.
“Pak Kades berniat memberi ayahmu upah jika ia mampu untuk memetik semua buah kelapa di halaman rumahnya”.
Isak tangis Ponorah agak mereda lalu berganti dengan pandangan kosong kearah ujung sawah tak berpadi dikaki bukit. Beberapa menit kemudian dia mencoba untuk melontarkan sepatah kata dari bibir kusutnya. Ternyata kebiasaan makan Sirih hanya membuat bibirnya semakin tidak keruan, kecuali gigi-gigi putih yang terpampang di ujung lidah tampak kuat, membuat terkadang ia sombong dihadapan perempuan-perempuan seusianya dikampung itu.
“Kamu kan tahu sendiri kalau keluarga kita sudah sangat kekurangan uang nak”.
Jawaban Ponirah memberi pelengkap dari apa yang telah Deejab rasakan selama ini. Kemarau panjang telah memporak-porandakan kampung milik mereka yang dihuni oleh penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Orang-orang menjadi kehilangan mata pencaharian dan dipaksa untuk beralih kerja yang lain. Mereka tidak mungkin terus bertahan dengan kondisi seperti ini. Tuntutan hidup yang terus bertambah membuat mereka semakin terdesak dan rela untuk melakukan apa saja untuk mendapatkan sesuap nasi dan sekeping receh, termasuk menjilat ludah dari apa yang telah lontarkan sendiri ataupun kesepakatan jiwa-jiwa yang penuh dengan rasa kekeluargaan. Tidak ada kepastian sampai kapan mereka akan terus begini. Hamparan padang hijau dan sawah menguning menjadi fatamorgana yang sangat menyakitkan. Beberapa bulan lalu sempat terdengar isu bahwa desa mereka telah mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk membuat pengairan dari desa seberang untuk mengatasi permasalahan kemarau panjang ini. Desa tetangga mereka memang terkenal memiliki pengairan yang sangat bagus, diambil dari bendungan sebuah sungai besar yang terletak enam kilometer dari desa itu, sehingga walaupun kemarau panjang berlangsung penduduk tetap dapat menjalani kehidupan mereka sebagaimana biasanya. Kedua desa itu hanya dipisah oleh sebuah bukit dan sebuah sungai tak berair namun keadaannya sangat bertolak belakang. Deejab memang sempat beberapa kali menanyakan bantuan itu kepada paman Herman yang bekerja di Kantor Desa, namun ia mengaku tidak tahu-menahu dengan hal itu.
“Itu adalah urusan pribadi pak Kades, dan kami tidak ada seorangpun yang mengetahuinya”, jawab paman Herman suatu sore ketika Deejab kembali menanyakan hal tersebut kepadanya.
Akhirnya pertanyaan kali itu menjadi yang terakhir dari mulut Deejab tentang dana bantuan desa dan ia hanya bisa penasaran sembari sesekali curiga kepada pak Kades yang semakin hari tanpak semakin makmur itu. Rumahnya paling bagus diantara semua rumah yang ada di kampung membuat penduduk semakin sungkan. Halaman luas di depan rumah membuat ia harus mempekerjakan orang untuk merawat. Anak-anaknya pun semuanya bersekolah di kota, kecuali seorang yang sulung yang tampak mengalami gangguan jiwa. Sebuah kutukan yang dialamatkan kepadanya, kata orang pintar di desa seberang. Anak itulah satu-satunya yang sering membuatnya malu jika ada orang yang bertandang ke rumahnya. Juga menjadi bahan ejekan anak-anak lain di kampung itu yang tidak senang kepada pak Kades, bukan kepada anaknya.
Tak ayal, mendengar berita itu Deejab langsung menuju Puskesmas untuk menjenguk ayahnya. Sesampainya disana ia mendapatkan ayahnya sedang terbaring lemah di bangsal besi karatan milik Puskesmas. Sebuah tamparan keras diterima Deejab ketika ia mengetahuai kalau ayahnya harus segera dirawat serius dan membutuhkan biaya yang mahal. Padahal keluarga mereka sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Semuanya sudah habis dijual termasuk sepetak sawah warisan kakek untuk menutup biaya hidup keluarga dan ongkos sekolah anak kesayangan mereka.
Sekembalinya dari puskesmas, Deejab terus merenung dan berfikir untuk mendapatkan uang. Ia tahu bahwa gaji mengembala sapi tidak mungkin cukup untuk ongkos perawatan ayahnya, dan ia pun tahu tidak mungkin berharap kepada ibunya untuk menanggung biaya itu. Langit mulai gelap dan bulan pun menampakkan wajahnya. Remang-remang pelita mengiringi kegelisahan Deejab. Suara Jangkrik yang tidak merdu tidak mampu memberikan jalan keluar bagimana mendapatkan uang. Keesokan paginya, tidak seperti biasa, Deejab berangkat lebih awal, bahkan tanpa berpamitan. Digenjotnya sepedanya dengan cepat. Sosok tinggi kurus itu meluncur di jalan setapak desa yang keras dan kering, diantarkan oleh suara kokok ayam jantan, dan disaksikan fajar yang mulai menyingsing. Sampai di pertigaan desa ia memutuskan untuk berbelok ke kiri mengambil jalan menuju arah kota. Iya, Deejab ingin pergi ke kota untuk mencari uang. Sebuah tindakan yang baru terpikirkan tadi di jalan. Ternyata pertigaan desa memberinya inspirasi untuk tidak ke sekolah hari ini. Hari menjelang siang, sekitar pukul sembilan pagi ketika ia sampai di kota. Ia menelusuri jalan yang disamping kiri kanannya terdapat rumah-rumah yang besar dan mewah, rumah-rumah orang kaya.
“Seandainya aku seperti mereka, aku tidak perlu bersusah payah seperti ini” gumannya dalam hati melihat sebuah rumah.
Hampir setiap rumah ia masuki dan bertanya adakah pekerjaan buatnya. Tidak seperti yang dibayangkan, ternyata tidak satupun yang mau mempekerjakannya, lalu ia nyaris putus asa. Hingga matahari telah berada sepenggalan, Deejab belum mendapatkan apa-apa. Kemudian ia memutuskan untuk pulang. Keadaan ini terus berlanjut selama beberapa hari hingga orang tua Deejab mengetahui bahwa anaknya telah seminggu tidak masuk sekolah. Suatu petang, di atas sebuah balai bambu usang pemberian paman Herman, ibunya menanyakan perihal ketidakmasukan Deejab ke sekolah selama seminggu ini. Deejab diam tak mau bicara, hanya pandangan mata kekosongan yang ia tampakkan. Ibunya mengerti bahwa Deejab tidak ingin bercerita. Deejab tidak menyangka bahwa berita ini akan sampai juga ke telinga ibunya, padahal ia bermaksud merahasiakan hal ini dari orang-orang termasuk kedua orang tuanya.
Hari menjelang sore ketika Deejab memutuskan untuk pulang dari kota. Ini adalah hari kesepuluh ia tidak masuk sekolah. Ia menelusuri jalan besar yang sepi di pinggiran kota. Sebuah jalan menuju desanya. Akan tetapi diperjalanan ia teringat akan sapi milik tetangganya yang belum ia gembalakan. Hal itu membuatnya kaget dan tegang. Keringat dingin mengucur dari kulit yang tinggal membalut tulang itu. Tubuhnya seakan mendapat kekuatan baru untuk menggenjot sepeda ontelnya sekuat tenaga.
“Aku harus sampai secepatnya untuk mengembalakan sapi itu, pasti aku akan dimarahi nantinya”, gumannya dalam hati. “Aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ini, siapa yang akan menjadi tumpuan keluarga nantinya?, siapa yang akan memberi makan ibu?, siapa yang akan membayar biaya pengobatan bapak, sedangkan aku belum juga mendapatkan pekerjaan tambahan?” dan segelumit kekhawatiran lain terngiang ditelinganya.
Deejab meluncur di jalan sepeti kilat. Beberapa kendaraan yang berada di depan didahuluinya. Dipikirannya hanyalah sapi tetangga yang harus segera ia gembalakan, walaupun pasti sudah terlambat. Hingga ada sebuah mobil menghampiri dan memintanya berhenti. Dengan terkejut Deejab memberhentikan sepedanya. Kembali ia harus menduga-duga apa gerangan yang telah dan akan terjadi kepadanya hari ini. Tetapi ia tidak merasa telah melakukan suatu kesalahan pun selain melupakan sapi tetangganya.
Turun dari mobil itu seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahunan, bercelana training lengkap dengan baju kaosnya. Ia lalu menyapa Deejab dengan ramah,
“Hai nak, siapa namamu?” sapaan yang tidak diawali dengan perkenalan diri terlebih dahulu.
“Deejab pak”.
Dua, tiga, empat dan lima pertanyaan menyusul kepada Deejab membuat ia semakin bingung. Tanpa tahu nama dan maksud si orang aneh, layaknya orang kampung yang lain yang sedang mencari pekerjaan di kota, Deejab menjawab semua pertanyaan dengan polos. Hingga akhirnya lelaki bermobil itu menjelaskan mengapa ia menghampiri Deejab. Rupanya tadi pada saat Deejab meluncur diatas sepedanya dengan kencang, telah membuat orang itu menjadi terkagum-kagum. Orang itu adalah anggota pencari bakat muda untuk dilatih menjadi atlit balap sepeda. Tawaran untuk menjadi atlit pun langsung keluar dari mulut sang pelatih. Dia menjanjikan hal-hal yang membuat Deejab tidak berkedip dan hanya terpana mendengarkannya. Terdorong oleh keadaan ayahnya yang sakit dan membutuhkan biaya pengobatan membuat Deejab tidak berfikir panjang untuk menerima tawaran itu. Sang pelatih senang, lalu ia merogoh koceknya dan mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
“ini untukmu, sebagai tanda terima kasih kamu telah menerima tawaranku”, kata sang pelatih sambil tersenyum.
“terima kasih pak” jawab Deejab sambil mengambil uang yang di sodorkan kepadanya tanpa ragu. Ia berjanji akan menemui orang itu besok pagi di alamat yang tertera pada kartu namanya.
Kegembiraan yang tidak terkira menggumpal di dada Deejab. Kembali sepedanya dikayuh sekuat tenaga. Hanya bayangan wajah-wajah gembira dihadapannya, kegembiraan ibu yang sejak sepuluh hari terakhir ini tak pernah tampak di wajah keriputya, tawa bangga paman Herman yang selama ini telah menjadi orang tua keduanya, dan senyum haru ayah yang akan kembali sehat serta segera berkumpul dengan mereka lagi di rumah, bukan di Puskesmas desa. Ia sudah tidak sabar untuk menceritakan berita gembira ini kepada dunia. Dunia yang selama ini terus menguji keteguhan hatinya, seorang sayaha Tuhan yang menjadi satu-satunya tumpuan harapan orang tuanya. Sembari bersimpuh di depan ibunya dan menyerahkan uang hasil jerih payahnya sendiri.
Matahari mulai tenggelam ketika Deejab melintasi sebuah bukit menuju Desanya. Jalan kecil itu tampak keras. Keringat terasa mulai membasahi seragam sekolah satu-satunya miliknya.
“Aku harus segera sampai di rumah sebelum magrib tiba” gumannya dalam hati.
Laju sepeda itupun semakin dikencangkannya. Dengan lincah ia melalui kelokan-kelokan kecil setapak itu. Kebiasaan bersepeda sejak dua tahun lalu ternyata memberinya kemampuan yang cukup handal. Dengan yakin ia menambah laju sepedanya untuk dapat melalui tanjakan didepan. Namun tiba-tiba angin berhembus kencang dan debu-debu kering jalanan yang beterbangan. Hembusan debu itu mengenai mata Deejab. Tangan kanan yang semula memegang rem diusapkan ke mata. Akan tetapi tindakan itu justru membuat sepedanya oleng. Perih di bagian mata akhirnya membuatnya kehilangan kendali, dan menabrak sebuah batu lalu masuk kedalam sebuah jurang dangkal. Kepalanya yang terbentur batu gunung tajam memberinya rasa sakit yang teramat sangat. Darah segar mengucur deras dari kepalanya. Tubuhnya terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Seekor semut yang menggigit bibirnya pun terpaksa ia relakan. Rintihan suara meringis kesakitan hanya didengarkan oleh capung-capung yang beterbangan, tetapi mereka tidak mempedulikannya. Isak tangisnya hanya mampu didengarkan oleh lalat-lalat yang mulai menjamah lukanya, tetapi mereka terus menikmatinya. Tidak ada orang lain yang berada ditempat itu. Sebuah jurang sunyi tak bertuan. Hanya tampak anak yang terus mencoba untuk bertahan dengan luka di kepalnya. Sedikit demi sedikit Deejab berusaha untuk bangkit dan merangkak menapaki jurang itu untuk meraih sepedanya. Namun sisa tenaga yang ia miliki hanya mampu untuk membuatnya meringis dan menangis, tapi tidak untuk bangkit dan merangkak. Lalu ia semakin lemah dan terkulai. Semangat untuk memberikan berita gembira itu ternyata tidak mampu untuk mengangkatnya dari jurang, sampai ia pun tidak sadarkan diri. Akhirnya sesosok malaikat datang menghampirinya.
Cahaya mentari semakin memerah, pertanda magrib akan segera datang. Suara-suara jangkrik mulai terdengar, tidak lama kemudian azan magrib berkumandang. Orang-orang bersiap untuk menunaikan shalat magrib bersama di masjid kampung, satu-satunya kebiasaan mereka yang belum berubah seiring dengan masa-masa sulit yang terus melanda. Secara bergantian mereka saling menasehati untuk tetap bersabar menghadapi cobaan ini, sembari melakukan doa bersama agar Tuhan memberi kesabaran dan kekuatan. Sehabis magrib mereka melakukan pengajian rutin yang dipimpin oleh Ustad Bahar, tetua kampung yang sangat dihormati. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat dan kembali memikirkan hari esok mereka yang semakin tidak menentu, apakah mampu mengisi perut atau tidak, apakah mampu membasahi tenggorokan anak-anak mereka atau tidak. Semuanya serba tidak pasti. Kecuali anak-anak kecil yang telah tertidur pulas kehabisan air mata setelah seharian menangis. Air mata yang hanya menjadi senjata kelaparan mereka. Serta sebagian bayi yang masih berharap air susu ibunya kembali bisa membuat mereka tersenyum, setelah sekian lama mereka hanya merasakan puting pahit dan kering tanpa setetes susu pun yang membasahi.
Keesokan harinya orang-orang desa berkabung. Pada hari itu mereka mengebumikan dua orang. Kuburan Deejab bersama ayahnya didampingkan. Jiwa-jiwa yang tenang damai tanpa perlu merasakan kelaparan lagi. Jiwa-jiwa yang telah menunaikan tugasnya di dunia ini dengan tidak kenal mengeluh dan putus asa. Jiwa-jiwa yang meninggalkan seorang perempuan setengah baya dengan duka yang mendalam. Kemana Deejab pergi selama sepuluh hari terakhir menjadi rahasia tak terungkap dihadapan ibunya, dan beberapa lembar uang lima puluh ribuan diletakkan di samping batu nisan bertuliskan Deejab...
Dan hujan pun turun.....
Pojok concat
Dalam untaian keheningan jiwa,
Dan lembutnya nada-nada,
Eki...
keren cooiii
ReplyDeletehttp://pandumudita.blogs.friendster.com/my blog