"Pak, satu ya..", kalimat pertama yang terucap dari bibirku. jarum jam menunjukkan pukul 21.35 ketika aku sampai di bundaran UGM dengan dua buah buku dan beberapa lembar kertas...serta sebuah ballpoint. kalimat itu aku tujukan kepada salah satu penjual wedang ronde di tempat itu. dua pasang muda-mudi asik bercengkrama di depanku agak kekiri. usia mereka sekitar dua puluh limaan. gelak tawa yang sesekali terdengar dari kerumunan mereka mengisyaratkan betapa kebahagiaan melanda. cinta mulai menunjukkan taringnya.
sambil tersenyum bapak penjual wedang ronde menyodorkan semangkuk sajiannya kepadaku. "makasih pak" jawabku. sebuah kalimat yang cukup jarang aku ucapkan.
sambil sesekali pandangan aku arahkan ke dua pasang manusia tadi, aku mulai membuka lembaran-lembaran buku cerita yang memang sudah aku persiapkan dari kost. judulnya Orang-Orang Proyek. bercerita tentang seorang insinyur mantan aktivis mahasiswa yang tebentur antara idealismenya dengan logika proyek pembangunan jembatan yang sudah bukan rahasia lagi menjadi ajang korupsi dan menggelembungkan anggaran. kisah yang kadang-kadang ada kemiripanya dengan pola aku menjalani kehidupan..
lalu konsentrasiku terganggu oleh segerombolan anak muda, semuanya laki-laki, mungkin sekitar tujuh orang, yang asik berfoto bareng di bundaran UGM dengan berbagai macam gaya dan penampilan yang khas. sekali lagi suara tawa mereka mengisyaratkan kebahagiaan yang sedang membelenggu. cinta mulai menunjukkan tajinya.. aku tersenyum ikut larut dalam kesenangan yang mereka rasakan. iya, kesenangan segerombolan lelaki itu, dan kesenangan dua pasang manusia tadi.. satu menit kemudian pandangan aku arahkan ke beberapa PKL yang mangkal disejangkauan pandanganku. tiga orang penjual wedang ronde, dua orang pedagang angkringan, dan beberapa orang penjual rokok..aku yakin mereka menjalani hidup dengan penuh beban. gurat wajah yang semakin jelas mengindikasikan semuanya. tapi satu hal yang membuat aku salut adalah mereka selalu berupaya untuk tersenyum. walaupun beban itu kadang-kadang masih tertitip di ujung bibir yang merekah.
setiap langkah waktu berjalan, bayang-bayang ketersingkiran dari dunia terus menghantui senyuman mereka. keberadaannya yang semakin tidak diakui, seiring dengan menjamurnya proyek-proyek pembangunan mall-mall yang mewah, swalayan-swalayan modern, yang jelas lebih menggiurkan bagi banyak orang karena mendatangkan uang yang jauh lebih besar dari pada sekedar menjual menu angkringan, yang jelas lebih cocok bagi para anak muda untuk ngeceng dan tebar pesona dari pada sekedar duduk dan berbagi rezeki dengan penjual wedang ronde.
ingatanku menusuk jauh kedalam benakku, membayangkan apa yang akan terjadi kelak terhadap mereka. siapa yang bertanggung jawab terhadap keterpurukan dan ketersingkiran mereka? apakah pemerintah, yang dengan leluasa menyingkirkan mereka dengan membangun pusat-pusat perbelanjaan yang jangankan untuk berjualan di sana, sekedar membayar harga sewa satu los kecil saja seharga dengan omzet penjualan mereka selama berbulan-bulan? apakah para pengusaha besar yang tidak henti-hentinya menggoda pemerintah dan masyarakat dengan modalnya yang tak bakalan terjangkau oleh siapapun? apakah acara sinetron-sinetron TV, infotainment, atau program-program MTV yang selalu menunjukkan kemewahan , kebarat-baratan, sehingga merasuki pikiran kita dan membuat kita kehilangan identitas sebagai orang indonesia? ataukah sebenarnya kita sendiri yang bertanggung jawab karena tidak punya rasa kemanusiaan, kehormatan, dan harga diri, yang lebih bangga kalau bisa makan paha ayam di KFC dari pada makan kepala ayam di angkringan padahal sumbernya sama, sama-sama dari kandang ayam pak Agus?
tegukan terakhir wedang ronde mengingatkanku akan waktu. sudah lewat jam 23.00. aku berkemas, menyodorkan uang sejumlah Rp 2.500,00 kepada bapak si penjual, lalu aku pulang dengan segelintir pertanyaan yang ada dipikiranku..yang belum sempat aku simpulkan... (tu kan, aku lupa ngucapin terima kasih sama bapak penjual ronde itu...)....
salam dari ujung selatan Boulevard UGM
sambil tersenyum bapak penjual wedang ronde menyodorkan semangkuk sajiannya kepadaku. "makasih pak" jawabku. sebuah kalimat yang cukup jarang aku ucapkan.
sambil sesekali pandangan aku arahkan ke dua pasang manusia tadi, aku mulai membuka lembaran-lembaran buku cerita yang memang sudah aku persiapkan dari kost. judulnya Orang-Orang Proyek. bercerita tentang seorang insinyur mantan aktivis mahasiswa yang tebentur antara idealismenya dengan logika proyek pembangunan jembatan yang sudah bukan rahasia lagi menjadi ajang korupsi dan menggelembungkan anggaran. kisah yang kadang-kadang ada kemiripanya dengan pola aku menjalani kehidupan..
lalu konsentrasiku terganggu oleh segerombolan anak muda, semuanya laki-laki, mungkin sekitar tujuh orang, yang asik berfoto bareng di bundaran UGM dengan berbagai macam gaya dan penampilan yang khas. sekali lagi suara tawa mereka mengisyaratkan kebahagiaan yang sedang membelenggu. cinta mulai menunjukkan tajinya.. aku tersenyum ikut larut dalam kesenangan yang mereka rasakan. iya, kesenangan segerombolan lelaki itu, dan kesenangan dua pasang manusia tadi.. satu menit kemudian pandangan aku arahkan ke beberapa PKL yang mangkal disejangkauan pandanganku. tiga orang penjual wedang ronde, dua orang pedagang angkringan, dan beberapa orang penjual rokok..aku yakin mereka menjalani hidup dengan penuh beban. gurat wajah yang semakin jelas mengindikasikan semuanya. tapi satu hal yang membuat aku salut adalah mereka selalu berupaya untuk tersenyum. walaupun beban itu kadang-kadang masih tertitip di ujung bibir yang merekah.
setiap langkah waktu berjalan, bayang-bayang ketersingkiran dari dunia terus menghantui senyuman mereka. keberadaannya yang semakin tidak diakui, seiring dengan menjamurnya proyek-proyek pembangunan mall-mall yang mewah, swalayan-swalayan modern, yang jelas lebih menggiurkan bagi banyak orang karena mendatangkan uang yang jauh lebih besar dari pada sekedar menjual menu angkringan, yang jelas lebih cocok bagi para anak muda untuk ngeceng dan tebar pesona dari pada sekedar duduk dan berbagi rezeki dengan penjual wedang ronde.
ingatanku menusuk jauh kedalam benakku, membayangkan apa yang akan terjadi kelak terhadap mereka. siapa yang bertanggung jawab terhadap keterpurukan dan ketersingkiran mereka? apakah pemerintah, yang dengan leluasa menyingkirkan mereka dengan membangun pusat-pusat perbelanjaan yang jangankan untuk berjualan di sana, sekedar membayar harga sewa satu los kecil saja seharga dengan omzet penjualan mereka selama berbulan-bulan? apakah para pengusaha besar yang tidak henti-hentinya menggoda pemerintah dan masyarakat dengan modalnya yang tak bakalan terjangkau oleh siapapun? apakah acara sinetron-sinetron TV, infotainment, atau program-program MTV yang selalu menunjukkan kemewahan , kebarat-baratan, sehingga merasuki pikiran kita dan membuat kita kehilangan identitas sebagai orang indonesia? ataukah sebenarnya kita sendiri yang bertanggung jawab karena tidak punya rasa kemanusiaan, kehormatan, dan harga diri, yang lebih bangga kalau bisa makan paha ayam di KFC dari pada makan kepala ayam di angkringan padahal sumbernya sama, sama-sama dari kandang ayam pak Agus?
tegukan terakhir wedang ronde mengingatkanku akan waktu. sudah lewat jam 23.00. aku berkemas, menyodorkan uang sejumlah Rp 2.500,00 kepada bapak si penjual, lalu aku pulang dengan segelintir pertanyaan yang ada dipikiranku..yang belum sempat aku simpulkan... (tu kan, aku lupa ngucapin terima kasih sama bapak penjual ronde itu...)....
salam dari ujung selatan Boulevard UGM
kebayang ga Ki? klo seumpama wedang ronde di kemas sedemikian hingga agar memiliki nilai ekonomis lebih, dan tetap mampu menancapkan taring cinta.
ReplyDeletehttp://pandumudita.blogs.friendster.com/my_blog/
ReplyDelete