Skip to main content

Karena Setiap Teman adalah Spesial

Seperti biasa, HP menjadi lebih sering mengirimkan notifikasi pesan masuk menjelang dan pada saat hari raya. Hari raya telah menjadi momen yang sangat baik untuk saling bersilaturrahmi. Terima kasih atas kemajuan teknologi yang telah sangat membantu umat manusia untuk saling menyapa di hari-hari spesial, walaupun jarak memisahkan secara fisik.
Ada banyak sekali ucapan menarik dan kata-kata bijaksana mengalir dari satu HP ke HP yang lain. Bahasanya pun macam-macam, mulai dari bahasa Indonesia, Inggris dan bahkan bahasa daerah. Adapula yang bertuliskan ayat-ayat suci, atau sekedar gambar yang bertuliskan kalimat-kalimat ucapan selamat hari raya dan permintaan maaf lahir dan batin.
Bahkan yang cukup membuat saya takjub adalah rangkaian tanda baca yang kombinasinya menggambarkan ilustrasi tempat ibadah. Luar biasa kecanggihan teknologi, membuat komunikasi lebih mudah dan ekspresif.
Saya sendiri menerima cukup banyak pesan-pesan seperti itu. Dari saudara, kerabat dan handai taulan. Bahkan ada dari 1-2 orang yang tampaknya saya tidak kenal (atau mungkin agak lupa). Walaupun tentunya jumlahnya tidak sebanyak para pejabat dan selebritas, tapi saya bersyukur masih sempat berkenalan dengan orang-orang yang tentunya spesial tersebut. Pesan muncul melalui jalur pribadi, dan yang jauh lebih banyak melalui posting grup-grup komunikasi online. Ramai sekali.
Saya juga sama. Semenjak pemerintah secara resmi mengumumkan ketetapan 1 Syawal 1439 H, mulailah saya menjangkau HP dan mengirim pesan kepada para kerabat dan kenalan. Namun, saya memilih untuk menuliskan satu-satu pesan tersebut kepada mereka. Tentunya tidak dengan kalimat yang berbunga-bunga. Sejujurnya saya tidak sanggup berpuitis kepada semua orang.
Ucapan dari saya, yang saya buat khusus ke masing-masing orang tersebut, hanya berisi selamat hari raya, memohon permintaan maaf secara tulus, mendoakan harapan dan keinginan (tentunya doanya berbeda satu dengan yang lain, karena kondisi dan harapan setiap orang juga berbeda), serta tidak lupa mengirim pesan salam, entah buat keluarganya, saudaranya, atau orang tuanya.
Mengapa saya memilih menuliskan pesan-pesan pribadi? Bukankah ada teknologi copy-paste yang memudahkan orang menyalin ulang tulisan dengan cepat dan mudah?. Ya itu betul. Namun, menurut saya, pesan yang dikirim dengan metode copy-paste, akan terasa hambar bagi yang menerimanya.
Dugaan saya, dan ini hanya dugaan saja, kita tidak akan merasa istimewa dengan itu, walaupun dengan untaian kalimat berbunga-bunga. Kenapa? karena alam bawah sadar kita sepenuhnya meyakini bahwa bunga-bunga itu entah datangnya dari mana, dibuat oleh siapa, lalu disebarkan ke mana-mana. Kita hanya kecipratan sedikit dari lalu lintas itu. Kita tidak merasa istimewa dengan itu.
Tentunya pilihan untuk menuliskan pesan, mengetiknya untuk setiap orang, adalah pekerjaan yang cukup melelahkan. Ya, itu juga betul. Tapi, seperti yang telah saya ungkapkan tadi, saya meyakini setiap manusia itu spesial, khusus. Dan oleh karenanya, hendaklah kita memperlakukan mereka secara spesial dan khusus pula.
Lelah adalah harga yang harus dibayar dalam sebuah silatuhrahmi. Lelah adalah harga dari sebuah keintiman. Lelah adalah harga sebuah pertemanan. Itupun kalau kita menganggap silaturrahi, keintiman dan pertemanan itu melelahkan.
Bukankan Tuhan juga menciptakan manusia secara spesial, masing-masing secara khusus? Oh, saya hanya ingin mengikuti cara itu. Karena menurut saya setiap teman adalah spesial.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1439 H, mohon maaf lahir dan batin.

Comments

Popular posts from this blog

Di Tepi Pantai Kolaka

Di tepi pantai Kolaka, aku duduk dan termenung. Pandangan aku arahkan jauh ke depan, melampaui birunya laut, menanti matahari terbenam. Tatapanku tersapu ombak, tertiup angin, merengsek ke dermaga lalu hilang bersama kapal-kapal yang berlayar. Aku berharap pandangan ini meleburkan semua masalah dan mengokohkan niatku dalam hidup. Sudah cukup lama aku berada di sini, kota kecil yang selalu menyimpan kerinduan. Sebulan lebih aku habiskan, sejak kedatanganku yang kesekian kalinya. Ini kali terlama sejak aku meninggalkannya sebelas tahun yang lalu. Tak pernah aku banyangkan akan selama ini sebelumnya. Tuhan memang terkadang aneh, dia punya rencana-rencana yang tidak mampu dijangkau akal manusia. Dia bekerja saja, tetapi tidak pernah aku mendengar Dia berkata apa-apa. Dia melaksanakan semuannya dalam diam. diam... Di tepi pantai Kolaka aku duduk dan termenung... Dari kejauhan tampak tiga buah kapal ferry berlabuh menanti giliran pemberangkatan. Dua puluh lima meter di depanku ada tiga buah

Musim Mudik Telah Usai, Kembali Kampungan

Musim mudik telah usai. Pada masa-masa mudik itulah, kami orang desa, kaum udik, diperkenalkan langsung kepada gadget, mobil-mobil mewah, dialek-dialek aneh, yang biasanya hanya kami lihat di televisi. Agak aneh juga melihat suasana lebaran di kampung yang udik ini. Orang-orang saling bersalaman, berjabat tangan dengan tangan kanan, dan tangan kiri memegang handphone. Anak-anak desa, para pemuda kampung kini tidak bisa lagi bercengkrama sepuasnya. Mereka harus sesekali melirik saudara, keluarga, dan kerabat lainnya yang asik menatap gawainya masing-masing. Seolah-olah para pemudik itu sedang menunjukkan simbol kemajuan dan kemapanan, kekinian kata orang-orang ibu kota. Saat-saat seperti itulah orang-orang desa benar-benar merasa kampungan, ketinggalan jaman. Sterotyping yang turut disebarkan melalui sinetron-sinetron. Sekarang, musim itu telah usai. Para pemudik telah kembali ke kota, tempat segala kemajuan, kemapanan dan kekinian itu. Mudah-mudahan mudik kali ini bisa membawa

Bulan Bersinar dari Timur

Sebut saja Bulan, pastinya bukan nama sebenarnya. Namun, dia memiliki kemiripan dengan bulan, bersinar di malam hari. Ketika matahari mulai terbenam, seperti halnya bulan, Bulan pun terbit dengan manisnya. Namun, ketika matahari sudah terbit di pagi hari, dan bulan sudah terbenam, Bulan masih saja bersinar dengan keceriaannya yang sangat menggemaskan. Seperti kanak-kanak, Bulan selalu tersenyum dan tertawa. Indah sekali. Asalnya dari Jawa Barat. Di bawah sinar lampu yang temaram, dia menyebutkan sebuah daerah yang tidak terlalu asing di telingaku. Sebelum akhirnya sampai di tanah ini, dulunya ia bekerja di Lampung. “Capek bang” kata dia, memberi alasan mengapa dia berhenti di sana dan memilih kehidupan baru di Papua. “Di sana kami harus bekerja sampai jam 4 pagi setiap hari. Di sini lebih enak, cukup sampai jam 1 pagi. Aku jadi punya waktu istirahat yang cukup”. Aku meminta dia berkisah lebih banyak. “Aku hamil waktu masih SMA, dan pacarku tidak mau bertanggung jawab.