Satu hal yang masih jarang dibahas oleh kalangan industri pertambangan adalah kebijakan Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017. Dalam konteks tata kelola mineral, PP Ini menarik setidaknya karena beberapa hal. Pertama, adanya upaya serius untuk mengubah pola pikir para pemangku kepentingan dalam melakukan kegiatan ekonomi dengan menimbang aspek lingkungan hidup sebagai salah satu instrument penting pembangunan. Seperti diketahui, sifat asli industri pertambangan adalah proses memindahkan tanah dan batuan secara signifikan, mengubah bentang alam secara dramatis, serta menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar (Kirsch, S., 2010., Lins, C., & Horwitz, E., 2007). Proses ini memiliki konsekuensi lingkungan hidup yang tidak kecil. Bagaimanapun, ada banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan industri pertambangan, mulai dari perusahaan, pemerintah dari berbagai level, masyarakat lokal, serta lembaga-lembaga lainnya. Berbagai macam latar belakang ini sangat mempengaruhi cara pandang masing-masing dalam menimbang lingkungan hidup di kegiatan pertambangan. Para pemangku kepentingan diharapkan mampu berangkat dari pola pikir yang sejalan, kalau tidak mungkin sama sepenuhnya, sehingga mampu bersinergi dalam mengoptimalkan pembangunan berbasis sumberdaya alam.
Kedua, upaya memaksimalkan kontribusi sumberdaya alam untuk pembangunan berkelanjutan melalui proses penyusunan neraca Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Penyusunan neraca ini pada prinsipnya bertujuan untuk memberikan informasi status ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dan perkembangan perubahannya secara periodik dalam mendukung pembangunan. Secara spesifik, neraca SDA dan LH dapat digunakan untuk memproyeksikan program diversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tidak terbarukan (Auty, R. M., 2003). Penggunaan data neraca SDA dan LH yang benar akan membantu daerah kaya mineral dalam proses perencanaan pembangunan jangka panjang terutama dalam melakukan transformasi basis ekonomi menjadi invetasi atau aset-aset pembangunan yang dapat diperbaharui. Dengan demikian, daerah dapat secara teratur dan sistematis keluar dari ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan pada akhirnya terhindar dari kutukan sumberdaya pada level lokal dan regional.
Ketiga, internalisasi biaya-biaya LH ke dalam biaya produksi atau usaha. Hal ini juga sangat penting mengingat di masa lalu, banyak perusahaan dari negara maju berusaha memenuhi kebutuhan industrinya dengan melirik deposit mineral di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang dicirikan oleh rendahnya biaya produksi salah satunya oleh lemahnya sistem perlindungan lingkungan hidup dan tenaga kerja. Akibatnya, terjadi eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran yang meninggalkan permasalahan degradasi lingkungan yang luas. Dalam hal ini, negara maju dianggap mengekspor kerusakan lingkungan ke negara-negara berkembang (Marker, B. R., Petterson, M. G., McEvoy, F., & Stephenson, M. H., 2005). Adanya internalisasi biaya LH ke dalam biaya produksi pada prinsipnya akan membantu mengkompensasi kerugian-kerugian (eksternalitas negatif) yang ditimbulkan, termasuk degradasi lingkungan dan penurunan kualitas kesehatan akibat polusi dan pencemaran, kepada pihak-pihak yang terdampak secara lebih adil.
Selanjutnya, untuk mencapai tujuannya, pelaksanaan peraturan ini harus memperhatikan secara serius kapasitas dan kompetensi kelembagaan dan aparat pelaksana. Untuk mengubah pola pikir para pemangku kepentingan, peningkatan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan personil dari level pusat hingga daerah adalah hal yang mutlak dilakukan. Perlu diketahui bahwa kegagalan memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam untuk pembangunan banyak disebabkan oleh lemahnya institusi yang terlibat dalam sistem tata kelola mineral, selain ketimpangan kapasitas dan kompetensi antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, program-program pembangunan kapasitas harus menjadi prioritas dalam hal ini.
Pelaksanaan peraturan ini juga perlu menyamakan persepsi mengenai cadangan yang akan masuk dalam necara SDA. Dalam konteks industri pertambangan, cadangan hanya dapat diperoleh setelah melalui proses penelitian dan eksplorasi yang panjang serta kalkulasi mendalam, tidak cukup dengan mengelaborasi angka-angka statistik. Itupun harus dilakukan oleh orang-orang tertentu yang telah tersertifikasi kompetensinya. Mengingat neraca SDA dan LH ini akan menjadi informasi publik, maka sebaiknya perlu ada dialog lintas sektor untuk menyamakan persepsi dan menghindari distorsi dari para pemangku kepentingan.
Pelaksanaan regulasi ini juga perlu mempertegas ruang lingkup Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup, yang salah satunya diperuntukkan untuk pemulihan lingkungan hidup pasca-operasi. DJPLH ini dalam beberapa hal mirip dengan Jaminan Pasca-tambang (JPT) baik dari segi peruntukan maupun bentuknya. Pembahasan lintas sektor juga diperlukan untuk menghindari tumpang tindih aturan atau bahkan munculnya kewajiban ganda terhadap para pelaku usaha untuk satu program yang sama, yang pada akhirnya akan membuat iklim investasi menjadi tidak kompetitif.
Namun demikian, kerusakan lingkungan di masa lalu tampaknya tetap akan menjadi persoalan. Kasus pulau Singkep mungkin contoh yang paling baik dalam hal ini. Pemerintah daerah yang belum lama terbentuk diwarisi oleh permasalahan degradasi lingkungan akibat eksploitasi timah di masa lalu. Siapakah yang bertanggung jawab dan bagaimana mengelolanya tetap menjadi pertanyaan yang tampaknya belum akan terjawab dengan terbitnya peraturan ini.
Kedua, upaya memaksimalkan kontribusi sumberdaya alam untuk pembangunan berkelanjutan melalui proses penyusunan neraca Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Penyusunan neraca ini pada prinsipnya bertujuan untuk memberikan informasi status ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dan perkembangan perubahannya secara periodik dalam mendukung pembangunan. Secara spesifik, neraca SDA dan LH dapat digunakan untuk memproyeksikan program diversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tidak terbarukan (Auty, R. M., 2003). Penggunaan data neraca SDA dan LH yang benar akan membantu daerah kaya mineral dalam proses perencanaan pembangunan jangka panjang terutama dalam melakukan transformasi basis ekonomi menjadi invetasi atau aset-aset pembangunan yang dapat diperbaharui. Dengan demikian, daerah dapat secara teratur dan sistematis keluar dari ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan pada akhirnya terhindar dari kutukan sumberdaya pada level lokal dan regional.
Ketiga, internalisasi biaya-biaya LH ke dalam biaya produksi atau usaha. Hal ini juga sangat penting mengingat di masa lalu, banyak perusahaan dari negara maju berusaha memenuhi kebutuhan industrinya dengan melirik deposit mineral di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang dicirikan oleh rendahnya biaya produksi salah satunya oleh lemahnya sistem perlindungan lingkungan hidup dan tenaga kerja. Akibatnya, terjadi eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran yang meninggalkan permasalahan degradasi lingkungan yang luas. Dalam hal ini, negara maju dianggap mengekspor kerusakan lingkungan ke negara-negara berkembang (Marker, B. R., Petterson, M. G., McEvoy, F., & Stephenson, M. H., 2005). Adanya internalisasi biaya LH ke dalam biaya produksi pada prinsipnya akan membantu mengkompensasi kerugian-kerugian (eksternalitas negatif) yang ditimbulkan, termasuk degradasi lingkungan dan penurunan kualitas kesehatan akibat polusi dan pencemaran, kepada pihak-pihak yang terdampak secara lebih adil.
Selanjutnya, untuk mencapai tujuannya, pelaksanaan peraturan ini harus memperhatikan secara serius kapasitas dan kompetensi kelembagaan dan aparat pelaksana. Untuk mengubah pola pikir para pemangku kepentingan, peningkatan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan personil dari level pusat hingga daerah adalah hal yang mutlak dilakukan. Perlu diketahui bahwa kegagalan memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam untuk pembangunan banyak disebabkan oleh lemahnya institusi yang terlibat dalam sistem tata kelola mineral, selain ketimpangan kapasitas dan kompetensi antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, program-program pembangunan kapasitas harus menjadi prioritas dalam hal ini.
Pelaksanaan peraturan ini juga perlu menyamakan persepsi mengenai cadangan yang akan masuk dalam necara SDA. Dalam konteks industri pertambangan, cadangan hanya dapat diperoleh setelah melalui proses penelitian dan eksplorasi yang panjang serta kalkulasi mendalam, tidak cukup dengan mengelaborasi angka-angka statistik. Itupun harus dilakukan oleh orang-orang tertentu yang telah tersertifikasi kompetensinya. Mengingat neraca SDA dan LH ini akan menjadi informasi publik, maka sebaiknya perlu ada dialog lintas sektor untuk menyamakan persepsi dan menghindari distorsi dari para pemangku kepentingan.
Pelaksanaan regulasi ini juga perlu mempertegas ruang lingkup Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup, yang salah satunya diperuntukkan untuk pemulihan lingkungan hidup pasca-operasi. DJPLH ini dalam beberapa hal mirip dengan Jaminan Pasca-tambang (JPT) baik dari segi peruntukan maupun bentuknya. Pembahasan lintas sektor juga diperlukan untuk menghindari tumpang tindih aturan atau bahkan munculnya kewajiban ganda terhadap para pelaku usaha untuk satu program yang sama, yang pada akhirnya akan membuat iklim investasi menjadi tidak kompetitif.
Namun demikian, kerusakan lingkungan di masa lalu tampaknya tetap akan menjadi persoalan. Kasus pulau Singkep mungkin contoh yang paling baik dalam hal ini. Pemerintah daerah yang belum lama terbentuk diwarisi oleh permasalahan degradasi lingkungan akibat eksploitasi timah di masa lalu. Siapakah yang bertanggung jawab dan bagaimana mengelolanya tetap menjadi pertanyaan yang tampaknya belum akan terjawab dengan terbitnya peraturan ini.
Comments
Post a Comment