Musim mudik telah usai. Pada masa-masa mudik itulah, kami orang desa, kaum udik, diperkenalkan langsung kepada gadget, mobil-mobil mewah, dialek-dialek aneh, yang biasanya hanya kami lihat di televisi.
Agak aneh juga melihat suasana lebaran di kampung yang udik ini. Orang-orang saling bersalaman, berjabat tangan dengan tangan kanan, dan tangan kiri memegang handphone. Anak-anak desa, para pemuda kampung kini tidak bisa lagi bercengkrama sepuasnya.
Mereka harus sesekali melirik saudara, keluarga, dan kerabat lainnya yang asik menatap gawainya masing-masing. Seolah-olah para pemudik itu sedang menunjukkan simbol kemajuan dan kemapanan, kekinian kata orang-orang ibu kota. Saat-saat seperti itulah orang-orang desa benar-benar merasa kampungan, ketinggalan jaman. Sterotyping yang turut disebarkan melalui sinetron-sinetron.
Sekarang, musim itu telah usai. Para pemudik telah kembali ke kota, tempat segala kemajuan, kemapanan dan kekinian itu. Mudah-mudahan mudik kali ini bisa membawa berkah. Oleh-oleh dari kampung, yang tidak seberapa itu, sudilah kiranya dibawa serta. Hantarkan kepada segenap kolega, rekan, dan jaringan bisnis metropolis di sana segala kehangatan dari kampung yang udik ini.
Sampaikanlah persahabatan tanpa beban, pertemanan tanpa kartu nama, dan silaturahmi tanpa gawai. Ingatkanlah tentang humanisme, sebuah nilai yang mungkin dianggap kampungan. Apalah daya kami, kalianlah yang selalu memberi nama.
Titipkanlah kehidupan nyata itu, bahwa hidup bukan hanya dunia maya. Karena yang maya sampai kapan pun tetaplah maya dan yang nyata akan selalu nyata.
Musim mudik telah usai, saatnya kembali kampungan.
Comments
Post a Comment