Tulisan ini aku persembahkan untuk peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 64 tanggal 17 Agustus 2009.
Minggu lalu aku bertemu dengan beberapa orang teman di Jakarta. Dalam pembicaraan yang singkat itu kami membahas berbagai hal mulai dari pekerjaan masing-masing, permasalahan teroris yang sedang hangat-hangatnya, sampai hubungan dengan perempuan. Sebenarnya topik yang paling menarik adalah tentang perempuan, karena setiap kami memiliki pengalaman yang berbeda. Salah seorang diantaranya beristri dua dan mereka rukun-rukun saja, seorang yang lain juga beristri dua yang selalu bertengkar, seorang lagi beristri “hanya” satu tapi posesifnya minta ampun sampai buku rekeningnya pun harus diprint untuk melacak pengeluarannya, dan seorang yang lain juga beristri satu dengan privasi yang sangat tinggi dimana istrinya tidak pernah membuka dompet maupun handphone miliknya semenjak mereka menikah, tapi juga punya pacar seorang janda yang sebaya. Tapi tulisan hanya akan berbicara mengenai diskusi kami tentang pekerjaan.
Salah seorang dari kami bernama pak Dedy, seorang pengusaha muda lulusan negeri Paman Sam. Dalam usia 40an tahun, pak Dedy telah mengerjakan proyek-proyek skala besar mulai dari pembangunan rumah, jalan tol, sampai jalan tambang yang nilainya berkisar antara ratusan juta sampai trilyunan rupiah. Beliau juga mempunyai perusahaan yang tersebar di beberapa negara. Sebuah pencapaian yang cukup menakjubkan menurut aku. Pak Dedy, sang pengusaha muda, mengatakan bahwa dirinya telah sering mendapat penawaran untuk bergerak di bidang pertambangan. Akan tetapi sampai saat ini beliau tetap menolak untuk terlibat langsung dalam bisnis itu. Kalau membantu melakukan analisis beliau bersedia, dengan catatan tidak diminta terlibat langsung dalam proses penambangan. Alasannya, pertambangan, khususnya tambang terbuka, selain kayu, adalah bisnis yang berpotensi merusak lingkungan. Pertambangan menurutnya memiliki andil yang sangat besar dalam proses degradasi lingkungan. Sebuah idealisme yang sangat aku hargai, mengingat beliau adalah seorang pemilik saham pada holding company sebuah perusaan pertambangan batubara yang sangat besar di negeri ini. Menurutnya, beliau tidak pernah mengambil dan tidak mau memberi makan anak istrinya dari duit itu. Beliau memilih menyumbangkannya pada sebuah organisasi keagamaan terbesar di negara ini.
Prinsip yang dipegang oleh pak Dedy bukan tanpa alasan. Pengalaman beliau selama bertahun-tahun di Amerika memperlihatkan bagaimana Nevada dan Colorado, dua negara bagian di Amerika, hancur berantakan akibat kegiatan pertambangan. Cuaca yang tidak menentu, iklim yang semakin tidak terduga, serta akibat-akibat lain yang ditimbulkan telah menyebabkan kerusakan yang parah untuk generasi berikutnya. Dan nyawa-nyawa manusia menjadi taruhannya. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk-ngangguk karena tidak ada yang salah dari cerita pak Dedy itu.
Setelah pak Dedy mengakhiri ceritanya, aku pun berkomentar ”Amerika mendapatkan kompensasi yang jelas dari (rusaknya) Nevada dan Colorado, karena hasilnya tidak dibawa ke luar negeri, dan semuanya diinvestasikan kembali di dalam negeri. Bisnis terus berjalan di kedua negara bagian itu, dan masyarakatnya masih tetap eksis sampai sekarang. Kerusakan terkompensasi oleh rekayasa lingkungan dan teknologi untuk mendukung kegiatan bisnis masyarakatnya. Sedangkan Indonesia? Nanti dulu, kita harus jujur sama diri sendiri, apakah sampai saat ini masyarakat sudah mendapatkan kompensasi yang layak? Apakah bangsa ini sudah mendapatkannya? Apakah bisnis akan terus berputar sekiranya perusahaan-perusahaan skala besar itu telah selesai mengeruk kekayaan alam negeri ini? Jawabannya TIDAK. Kenapa tidak? Karena hasilnya tidak dinikmati oleh bangsa ini, karena hasilnya dibawa ke luar, karena hasilnya tidak diinvestasikan kembali di tanah yang telah terenggut kekayaannya. Karena kita lebih memilih diam dan menjadi antek kapitalis itu, dari pada menjadi agen penyelamat bangsa ini“. Dan kami semuanya terdiam untuk semetara. Sebuah pertanyaan pun menggelitik kami “apakah kita sudah memaknai kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya?“
Ditulis dalam pengungsian di jalan kaliurang km 14, dalam asupan ubi goreng yang lezat, dan sambal yang sangat pedas.
Comments
Post a Comment