Skip to main content

Bulan Bersinar dari Timur

Sebut saja Bulan, pastinya bukan nama sebenarnya. Namun, dia memiliki kemiripan dengan bulan, bersinar di malam hari. Ketika matahari mulai terbenam, seperti halnya bulan, Bulan pun terbit dengan manisnya. Namun, ketika matahari sudah terbit di pagi hari, dan bulan sudah terbenam, Bulan masih saja bersinar dengan keceriaannya yang sangat menggemaskan. Seperti kanak-kanak, Bulan selalu tersenyum dan tertawa. Indah sekali.

Asalnya dari Jawa Barat. Di bawah sinar lampu yang temaram, dia menyebutkan sebuah daerah yang tidak terlalu asing di telingaku.

Sebelum akhirnya sampai di tanah ini, dulunya ia bekerja di Lampung. “Capek bang” kata dia, memberi alasan mengapa dia berhenti di sana dan memilih kehidupan baru di Papua. “Di sana kami harus bekerja sampai jam 4 pagi setiap hari. Di sini lebih enak, cukup sampai jam 1 pagi. Aku jadi punya waktu istirahat yang cukup”.

Aku meminta dia berkisah lebih banyak.

“Aku hamil waktu masih SMA, dan pacarku tidak mau bertanggung jawab. Dalam keadaan kalut, aku akhirnya menikah sama seseorang yang tidak tahu bahwa sebenarnya aku sedang hamil. Waktu itu usia kandunganku 2 bulan.”.

Sekarang suamimu ke mana?

“Nggak tau lah di mana dia. Waktu kami menikah dia memang jarang pulang. Ternyata dia begal. Aku tahunya dari polisi yang datang ke rumah ngasih tau kalau suamiku ditangkap. Sejak itu kami tidak pernah ketemu lagi. Aku harus cari duit sendiri untuk menghidupi anakku. Lalu datanglah tawaran bekerja di Lampung itu. Tanpa berpikir panjang aku terima dan anakku aku titipkan di rumah orang tua.”

Aku menyeruput minuman yang ada di depanku, sambil menghela nafas panjang.

Bulan sedikit menurunkan posisi roknya yang terlalu tinggi, sedikit saja. Tampaknya pakaiannya khas, dirancang untuk tidak menghabiskan kain terlalu banyak. Akhirnya dia sadar, roknya memang sudah tidak bisa turun lagi. Kalau dipaksa, pasti bagian atasnya melorot. Aku menduga begitu. Ataukah mungkin berharap begitu? Entahlah, ini bukan universitas, di mana akal sehat bisa selalu menang.

“Tapi yang bikin aku sedih, anakku itu tidak tahu kalau aku ibunya. Dia tahunya ibunya itu ya ibuku itu, nenek dia. Dia manggil aku kakak”.

Orang tuamu tahu kalau kamu bekerja malam hari seperti ini?

“Tahu bang, akhirnya tau mereka. Awalnya sih nangis-nangis waktu aku kasih tau. Tapi ya pelan-pelan mereka mau terima. Sebelum mereka tahu, aku sering sakit-sakitan. Ada saja sakitnya. Sekarang kondisinya sudah lebih baik.”

Kembali aku menyeruput minuman yang ada di depanku, juga sambil menghela nafas panjang. Bulan juga minum, tampaknya dia agak haus. Dia minum langsung dari botol.

Lalu sampai kapan kamu mau bekerja seperti ini

“satu tahun lagi” jawabnya mantap.
“Aku juga nggak mau seperti ini terus. Badanku bisa remuk nanti, rusak kalau begini terus”.

“Aku mau buka butik, mau jualan baju saja. Aku sekarang sudah mulai, aku sudah punya toko online, sudah jualan ke beberapa tempat. Sambil ngumpulin duitlah. Doain ya bang”.

Ternyata Tuhan masih diharapkan di tempat seperti ini.

Tanpa terasa hari sudah berganti. Timur memang lebih dahulu bersinar dari Barat, tapi entah kenapa barat yang selalu lebih terang.

Aku harus segera beranjak. Dalam waktu beberapa jam lagi, aku harus ke bandara. Penerbangan pertama ternyata tidak selalu menyenangkan, terutama jika hati sudah mulai tertambat.

Aku bergegas melangkah, dengan cepat seperti biasanya. Tapi dia meminta agak perlahan. Katanya ingin menggandeng, mengantar sampai ke tempat parkir. 

“Bang, kapan-kapan aku main ke Jogja ya”, pinta Bulan, yang baru saja merayakan ulang tahunnya ke-19.

Comments

Popular posts from this blog

Di Tepi Pantai Kolaka

Di tepi pantai Kolaka, aku duduk dan termenung. Pandangan aku arahkan jauh ke depan, melampaui birunya laut, menanti matahari terbenam. Tatapanku tersapu ombak, tertiup angin, merengsek ke dermaga lalu hilang bersama kapal-kapal yang berlayar. Aku berharap pandangan ini meleburkan semua masalah dan mengokohkan niatku dalam hidup. Sudah cukup lama aku berada di sini, kota kecil yang selalu menyimpan kerinduan. Sebulan lebih aku habiskan, sejak kedatanganku yang kesekian kalinya. Ini kali terlama sejak aku meninggalkannya sebelas tahun yang lalu. Tak pernah aku banyangkan akan selama ini sebelumnya. Tuhan memang terkadang aneh, dia punya rencana-rencana yang tidak mampu dijangkau akal manusia. Dia bekerja saja, tetapi tidak pernah aku mendengar Dia berkata apa-apa. Dia melaksanakan semuannya dalam diam. diam... Di tepi pantai Kolaka aku duduk dan termenung... Dari kejauhan tampak tiga buah kapal ferry berlabuh menanti giliran pemberangkatan. Dua puluh lima meter di depanku ada tiga buah

Musim Mudik Telah Usai, Kembali Kampungan

Musim mudik telah usai. Pada masa-masa mudik itulah, kami orang desa, kaum udik, diperkenalkan langsung kepada gadget, mobil-mobil mewah, dialek-dialek aneh, yang biasanya hanya kami lihat di televisi. Agak aneh juga melihat suasana lebaran di kampung yang udik ini. Orang-orang saling bersalaman, berjabat tangan dengan tangan kanan, dan tangan kiri memegang handphone. Anak-anak desa, para pemuda kampung kini tidak bisa lagi bercengkrama sepuasnya. Mereka harus sesekali melirik saudara, keluarga, dan kerabat lainnya yang asik menatap gawainya masing-masing. Seolah-olah para pemudik itu sedang menunjukkan simbol kemajuan dan kemapanan, kekinian kata orang-orang ibu kota. Saat-saat seperti itulah orang-orang desa benar-benar merasa kampungan, ketinggalan jaman. Sterotyping yang turut disebarkan melalui sinetron-sinetron. Sekarang, musim itu telah usai. Para pemudik telah kembali ke kota, tempat segala kemajuan, kemapanan dan kekinian itu. Mudah-mudahan mudik kali ini bisa membawa