Tiba-tiba saja aku teringat kejadian itu, mungkin sekitar 16 tahun yang lalu. Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 2 SMA, di pulau seberang tempat leluhurku beranak binak dan berketurunan. Yang membuat ingatanku melekat karena aku tahu persis kejadian itu hari Sabtu, saat di mana kami sedang merencanakan malam nanti akan keluyuran di mana.
Sehari sebelumnya, seperti biasa, pada hari Jumat kami para siswa muslim sangat disarankan untuk melaksanakan shalat jumat secara berjamaah di masjid sekolah. Sebuah momen silaturrahmi yang baik sekali sebenarnya, karena pada saat itulah kami bersatu para kelompok alim, setengah alim, sesekali alim, dan bahkan yang pura-pura alim. Shalat berjalan biasa saja, sesuai dengan tuntunan shalat jumat yang umum dilakukan. Yang membuat sedikit berbeda adalah setelah salam dan doa, beberapa pasang mata kemudian melirik ke belakang, ke taman di belakang masjid, seolah-olah mencari sesuatu. Aku sendiri tidak mengerti apa yang dicari. Namun, beberapa teman kemudian berbisik “siapa tadi yang bernyanyi sambil main gitar itu?”. Oh, ternyata ada yang bermain saat kami sedang shalat, aku sendiri tadi tidak mendengarnya. Mungkin beberapa jamaah lain juga tidak mendengarnya.
Mencari sumber suara pada kenyataannya tidaklah terlalu sulit. Dalam hitungan menit, diketahuilah bahwa sosok yang tadi bermain gitar dan bernyanyi adalah seorang teman kelasku, yang juga pada saat yang sama adalah seorang kristen. Beberapa teman yang merasa mendengar suara tadi kemudian menegur dengan nada setengah bercanda, khas para sahabat anak muda, mengingatkan bahwa lain kali jangan sampai ada yang berisik pada waktu shalat jumat karena dapat mengganggu ibadah. Si kawan yang ditegur kaget bukan main dan secara alami wajahnya menunjukkan bahwa dia baru saja sadar telah melakukan kesalahan konyol yang dampaknya tidak dia duga sebelumnya. Kelihatan sekali bahwa dia tidak bermaksud melakukan itu. Kami, yang paham benar karakter kawan ini, mengerti bahwa dia sepenuhnya tidak menyangka efek dari tindakan dia itu. Tetapi, bagaimanapun karena si kawan telah berbuat salah, maka dia meminta maaf seraya berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Kami, yang paham benar karakter kawan ini, juga memberi maaf yang tulus, dan yakin benar bahwa dia tidak akan mengulangi kesalahan tersebut. Done, masalah selesai.
Namun, masalah selesai itu ternyata hanya bagi kami, atau lebih tepatnya sebagian dari kami saja. Keesokan harinya datanglah secara tiba-tiba dua orang kakak kelas menghampiri, sekumpulan teman-teman kelas di mana si kawan gitaris juga ikut berkumpul seperti biasanya. Seorang dari mereka wajahnya sangat familiar. Bagaimana tidak, dia adalah orang yang sangat kami benci karena kelakuannya mirip penjajah. Sering memalak adik kelasnya, memeras, dan tidak segan-segan memukul yang dianggap lemah, karakter yang mewakili sifat-sifat buruk kakak kelas di sekolah. Wajah yang satunya lagi tidak familiar, bahkan baru pertama kali kami lihat. Hal ini wajar saja mengingat belakangan kami tahu bahwa dia adalah salah seorang eksodus korban konflik agama dari tempat lain yang ditampung di sekolah kami baru-baru ini. Si penjajah dan si eksodus kemudian datang menghampiri si kawan gitaris, disertai dengan makian serta kalimat-kalimat kasar dan kotor. Keluarlah nama-nama hewan mulai dari kategori haram hingga najis. Mereka merasa terganggu dengan perbuatan nista si kawan gitaris, yang telah membuat ibadah tidak khuysu yang berpotensi dosa. Kalimat-kalimat tersebut dikeluarkan dengan penuh amarah dan emosi tinggkat tinggi dan si kawan yang hanya bisa tertunduk diam sambil sesekali meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya kemarin itu.
Ternyata kalimat saja tidak cukup. Si penjajah, yang merasa mewakili kami siswa muslim dan telah berkurang amalnya karena shalat yang terganggu, kemudian menampar pipi kawan gitaris.
Lalu, dengan nada yang sedikit menurun, si penjajah kemudian memberi nasehat yang sangat bijaksana kepada kami semua, dan terutama kepada kawan gitaris, bahwa mengganggu ibadah orang lain itu tidak baik. Bahwa bermain gitar dan bernyanyi pada saat orang lain sedang shalat jumat itu bisa mengganggu konsentrasi, mengurangi kekhusyu’an jamaah, dan pada akhirnya akan mengurangi amal di sisi Tuhan. Kalimat-kalimat yang sepenuhnya benar.
Kini, sekitar 16 tahun kemudian aku teringat lagi kejadian itu. Aku juga ingat, bahwa setahun sebelum penamparan itu, juga ada kejadian kejadian yang melibatkan orang-orang ini, kami dan si kakak kelas. Waktu itu si kakak kelas datang memalak kami. Namun, tampaknya dia salah perhitungan, karena teman yang dipalak melawan. Ya, kami melawan, karena bagi kami satu adalah semua dan semua adalah satu. Kami bahkan sampai menanyakan rumah si kakak kelas, dan berjanji akan datang kesana jika dia mau, tentunya datang bukan untuk perdamaian. Sadar tidak mungkin menang jika berkelahi dengan kami, si kakak kelas akhirnya mengurungkan niatnya, lalu mundur teratur di depan teman-temannya. Sebuah pukulan yang tertunda, yang baru bisa dilaksanakan setahun setelahnya. Dulu, dengan alasan memalak, dia tidak berhasil memukul. Setahun setelahnya, orang yang sama, si kakak kelas berkarakter penjajah, dengan alasan mengganggu ibadah, telah berhasil memukul kami. Ah, tampaknya memang dia hanya ingin memukul saja.
Sehari sebelumnya, seperti biasa, pada hari Jumat kami para siswa muslim sangat disarankan untuk melaksanakan shalat jumat secara berjamaah di masjid sekolah. Sebuah momen silaturrahmi yang baik sekali sebenarnya, karena pada saat itulah kami bersatu para kelompok alim, setengah alim, sesekali alim, dan bahkan yang pura-pura alim. Shalat berjalan biasa saja, sesuai dengan tuntunan shalat jumat yang umum dilakukan. Yang membuat sedikit berbeda adalah setelah salam dan doa, beberapa pasang mata kemudian melirik ke belakang, ke taman di belakang masjid, seolah-olah mencari sesuatu. Aku sendiri tidak mengerti apa yang dicari. Namun, beberapa teman kemudian berbisik “siapa tadi yang bernyanyi sambil main gitar itu?”. Oh, ternyata ada yang bermain saat kami sedang shalat, aku sendiri tadi tidak mendengarnya. Mungkin beberapa jamaah lain juga tidak mendengarnya.
Mencari sumber suara pada kenyataannya tidaklah terlalu sulit. Dalam hitungan menit, diketahuilah bahwa sosok yang tadi bermain gitar dan bernyanyi adalah seorang teman kelasku, yang juga pada saat yang sama adalah seorang kristen. Beberapa teman yang merasa mendengar suara tadi kemudian menegur dengan nada setengah bercanda, khas para sahabat anak muda, mengingatkan bahwa lain kali jangan sampai ada yang berisik pada waktu shalat jumat karena dapat mengganggu ibadah. Si kawan yang ditegur kaget bukan main dan secara alami wajahnya menunjukkan bahwa dia baru saja sadar telah melakukan kesalahan konyol yang dampaknya tidak dia duga sebelumnya. Kelihatan sekali bahwa dia tidak bermaksud melakukan itu. Kami, yang paham benar karakter kawan ini, mengerti bahwa dia sepenuhnya tidak menyangka efek dari tindakan dia itu. Tetapi, bagaimanapun karena si kawan telah berbuat salah, maka dia meminta maaf seraya berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Kami, yang paham benar karakter kawan ini, juga memberi maaf yang tulus, dan yakin benar bahwa dia tidak akan mengulangi kesalahan tersebut. Done, masalah selesai.
Namun, masalah selesai itu ternyata hanya bagi kami, atau lebih tepatnya sebagian dari kami saja. Keesokan harinya datanglah secara tiba-tiba dua orang kakak kelas menghampiri, sekumpulan teman-teman kelas di mana si kawan gitaris juga ikut berkumpul seperti biasanya. Seorang dari mereka wajahnya sangat familiar. Bagaimana tidak, dia adalah orang yang sangat kami benci karena kelakuannya mirip penjajah. Sering memalak adik kelasnya, memeras, dan tidak segan-segan memukul yang dianggap lemah, karakter yang mewakili sifat-sifat buruk kakak kelas di sekolah. Wajah yang satunya lagi tidak familiar, bahkan baru pertama kali kami lihat. Hal ini wajar saja mengingat belakangan kami tahu bahwa dia adalah salah seorang eksodus korban konflik agama dari tempat lain yang ditampung di sekolah kami baru-baru ini. Si penjajah dan si eksodus kemudian datang menghampiri si kawan gitaris, disertai dengan makian serta kalimat-kalimat kasar dan kotor. Keluarlah nama-nama hewan mulai dari kategori haram hingga najis. Mereka merasa terganggu dengan perbuatan nista si kawan gitaris, yang telah membuat ibadah tidak khuysu yang berpotensi dosa. Kalimat-kalimat tersebut dikeluarkan dengan penuh amarah dan emosi tinggkat tinggi dan si kawan yang hanya bisa tertunduk diam sambil sesekali meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya kemarin itu.
Ternyata kalimat saja tidak cukup. Si penjajah, yang merasa mewakili kami siswa muslim dan telah berkurang amalnya karena shalat yang terganggu, kemudian menampar pipi kawan gitaris.
Lalu, dengan nada yang sedikit menurun, si penjajah kemudian memberi nasehat yang sangat bijaksana kepada kami semua, dan terutama kepada kawan gitaris, bahwa mengganggu ibadah orang lain itu tidak baik. Bahwa bermain gitar dan bernyanyi pada saat orang lain sedang shalat jumat itu bisa mengganggu konsentrasi, mengurangi kekhusyu’an jamaah, dan pada akhirnya akan mengurangi amal di sisi Tuhan. Kalimat-kalimat yang sepenuhnya benar.
Kini, sekitar 16 tahun kemudian aku teringat lagi kejadian itu. Aku juga ingat, bahwa setahun sebelum penamparan itu, juga ada kejadian kejadian yang melibatkan orang-orang ini, kami dan si kakak kelas. Waktu itu si kakak kelas datang memalak kami. Namun, tampaknya dia salah perhitungan, karena teman yang dipalak melawan. Ya, kami melawan, karena bagi kami satu adalah semua dan semua adalah satu. Kami bahkan sampai menanyakan rumah si kakak kelas, dan berjanji akan datang kesana jika dia mau, tentunya datang bukan untuk perdamaian. Sadar tidak mungkin menang jika berkelahi dengan kami, si kakak kelas akhirnya mengurungkan niatnya, lalu mundur teratur di depan teman-temannya. Sebuah pukulan yang tertunda, yang baru bisa dilaksanakan setahun setelahnya. Dulu, dengan alasan memalak, dia tidak berhasil memukul. Setahun setelahnya, orang yang sama, si kakak kelas berkarakter penjajah, dengan alasan mengganggu ibadah, telah berhasil memukul kami. Ah, tampaknya memang dia hanya ingin memukul saja.
Comments
Post a Comment