
Jarum jam menunjukkan angka 11.10 menit waktu aku mendengar pengumuman penumpang Malaysia Airlines tujuan Kuala Lumpur diminta untuk masuk ke ruang tunggu. Setelah bersalaman dan berpamitan akupun bergegas menuju ruang tunggu. Setelah membayar pajak bandara, dan melewati konter bebas fiskal, aku diminta ke loket imigrasi. Ada dua loket disana, tetapi yang satunya kosong. Artinya, aku harus ke loket yang terisi oleh petugas. Awalnya aku tidak berniat ke loket itu, akan tetapi mereka mengharuskannya. Akhirnya akupun mengalah dan menujulah aku ke loket yang bertuliskan “Foreigner Only”. Oh Tuhan, ini masih di Indonesia, itulah mengapa aku berkeras tidak menuju loket itu awalnya, karena aku bukan orang asing, tapi mereka menyuruhku. Oh Tuhan, ini masih di Indonesia, itulah mengapa para petugas sendiri yang memaksa aku untuk melanggar aturan,bukan mengikuti aturan. Oh Tuhan, Indonesia masih saja seperti ini.
Pengalaman diharuskan untuk melanggar aturan seperti ini memang bukan pertama kali aku alami. Namun setiap itu terjadi, selalu saja menyesakkan dada. Beberapa waktu yang lalu aku juga punya pengalaman menarik (atau menyedihkan) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kabupaten Sleman. Waktu itu aku ke sana untuk mengambil Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang baru setelah dengan susah payah dan penuh perjuangan aku pindahkan dari KPP Kota Yogyakarta karena memang aku sudah pindah domisili (untuk kesekiankalinya) ke Sleman. Kami (aku dan istri) sengaja berangkat menjelang istirahat siang berakhir dengan harapan mendapat pelayanan pertama setelah jam istiharat. Sesampai di KPP, aku lalu menuju loket pelayanan pengambilan NPWP dan istriku menunggu di tempat yang tidak jauh dari situ. Loket itu masih kosong, tidak ada petugas yang berjaga disana. Setelah aku melirik, jam dinding menunjukkan pukul 12.45, artinya waktu istirahat masih ada 15 menit lagi. Tunggu punya tunggu, dan beberapa orang pun berdatangan, duduk di sebelahku untuk kepentingan yang sama denganku. Jam dinding menujukkan pukul 13.10 ketika loket itu masih saja kosong. Aku mulai gelisah. Aku kemudian menanyakan ke seorang petugas yang sedang bekerja di ruangan sebelahnya, dan katanya “tunggu saja disitu, orangnya masih istirahat”. Beberapa menit kemudian, aku menanyakan lagi ke petugas yang kebetulan melintas, dan katanya “tunggu sebentar pak, masih istirahat”. Aku semakin tidak sabar, bagaimana mungkin aku disuruh menunggu tanpa ada kepastian di sebuah kantor pelayanan publik, yang notabene mahluk-mahluk yang bekerja didalamnya digaji dari pajak yang aku bayarkan? Ternyata bukan hanya aku yang gelisah, orang-orangpun semakin tidak sabar. Seorang bapak, yang usianya sekitar 50an tahun kemudian beranjak untuk menanyakan lagi ke petugas yang berada di tempat lain lagi. Petugas yang ini ternyata cukup memberikan solusi, tidak seperti yang lain meminta kami untuk menunggu saja. Dia lalu menyuruh kami, para penunggu NPWP, untuk memasuki sebuah ruangan, yang katanya petugas pelayanan NPWP ada di dalam ruangan itu. Karena aku meragukan perintah petugas itu, aku kemudian menanyakan lagi kepastiannya. “Masuk ke ruang itu pak?”. Jawabnya “iya, petugasnya ada di dalam” dengan yakinnya. Oh Tuhan, itu adalah ruangan yang di pintunya terdapat tulisan “Selain Petugas Dilarang Masuk”. Itulah mengapa aku meragukan perintah orang itu. Oh Tuhan, ternyata si petugas memaksa kami melanggar aturan yang mereka buat sendiri.
Cerita ini tidak berakhir sampai kami memasuki ruangan yang bertuliskan “Selain Petugas Dilarang Masuk” itu. Sesampainya kami didalam ruangan itu, petugas yang berada didalamya meminta kami untuk keluar. “Tunggu di luar saja pak!”. Merasa dilecehkan, akupun langsung bereaksi dengan keras “bapak yang di luar sana tadi yang menyuruh kami masuk ke sini, sekarang kamu menyuruh kami menunggu di luar saja, kalian ini gimana? kami sudah capek menunggu di luar dan sampai sekarang (pukul 13.40) petugasnya tidak ada”. Dengan perasaan sedikit tertekan, si petugas kemudian mengambil formulir yang ada ditangan kami untuk kemudian melayani pengambilan NPWP itu. Oh Tuhan, ternyata si petugas harus dimarahi dulu mau menjalankan tugasnya. Oh Tuhan, di sini, di Indonesia ini, ternyata kami harus marah dulu untuk mendapatkan apa yang telah menjadi hak kami.
Mengakhiri tulisan ini, aku teringat sebuah anekdot yang dipopulerkan oleh Gus Dur. Ketika suatu hari, tiga orang presiden (Amerika, China, Indonesia) kemudian menghadap Tuhan. Presiden Amerika kemudian bertanya “Tuhan, kapan rakyat Amerika akan sejahtera?”. Lalu Tuhan menjawab “20 tahun lagi”. Presiden Amerika pun menangis (memikirkan masih lamanya masyarakat Amerika sejahtera). Kemudian presiden China juga memberikan pertanyaan yang sama: “Tuhan, kapan rakyat China akan sejahtera?”. Tuhan menjawab “30 tahun lagi”. Lalu presiden China pun juga menangis. Yang terakhir, presiden Indonesia bertanya pertanyaan yang sama dengan dua presiden sebelumnya: “Tuhan, kapan kami akan sejahtera?”. Tuhan tidak menjawab apa-apa. Lalu Tuhan pun menangis.
Comments
Post a Comment