
Mungkin sebagian besar dari kita telah melihat iklan pemerintah tentang Sekolah Gratis yang akhir-akhir ini sering ditayangkan di televisi. Terlepas dari nuansa politis yang kental dari iklan ini karena munculnya justru pada masa tenang kampanye pemilu legislatif, saya ingin mengajak rekan-rekan sekalian untuk menyimak iklan itu dengan baik.
Hal yang menarik dan luar biasa menurut saya adalah adanya niat baik dari pemerintah untuk mengadakan sekolah gratis di mana-mana seperti yang dilantunkan oleh sang bintang iklan. Hal ini baru pertama kali sepanjang sejarah Negara ini pemerintah (pusat) mengumandangkan secara resmi program sekolah gratis ini. Diharapkan dengan adanya program ini, angka melek huruf rakyat Indonesia menjadi lebih tinggi yang disertai naiknya tingkat pendidikan rata-rata. Prinsipnya dari A-Z saya, dan saya yakin hampir semua dari elemen bangsa ini mendukung rencana pemerintah tersebut.
Permasalahan kemudian yang perlu dilihat lebih jeli adalah pada saat penayangan iklan terdapat kata-kata “kecuali …” yang merupakan penjelasan lanjut dari jargon sekolah gratis di mana-mana. Titik tiga yang berada pada tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menafikkan kelanjutan kata tersebut, akan tetapi sesungguhnya setelah lebih dari sepuluh kali saya menonton iklan tersebut, sampai saat ini saya belum dapat membaca dan memahami sepenuhnya kelanjutkan dari kata tersebut, sehingga dengan terpaksa saya tuliskan dengan “…”. Tampaknya pemerintah juga mulai tertular penyakit tulisan kecil-kecil di pojok bawah dari hampir semua iklan produk yang tidak yakin produknya dapat bermanfaat seperti yang dijanjikan. Misalnya iklah produk shampo “menghilangkan kerontokan sampai 99% *)” lalu dipojok bawah diberi keterangan bla..bla..bla yang intinya pengecualian dari 99% tersebut.
Kembali ke iklan sekolah gratis, penjelasan pengecualian didesain dengan tulisan yang jauh lebih kecil dan kemunculan yang sangat singkat bersama jargon sekolah gratis yang berlatar belakang cerah dengan ukuran tulisan yang jauh lebih besar, sehingga secara visual dalam waktu sesingkat itu pada penonton(baca: rakyat) secara otomatis hanya akan menangkap tulisan sekolah gratis tersebut.
Di ujung masa jabatannya (mungkin lebih tepatnya diawal masa jabatan selanjutnya) ini pemerintah tampaknya tetap saja masih lupa akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat, yang dalam memberikan pelayanan tersebut harus disertai dengan penjelasan sejelas-jelasnya akan aturan dan tata laksana yang berhubungan dengan program yang dijalankan, bukan malah terkesan hanya sekedar menggugurkan kewajiban dengan memberikan telah keterangan yang entah dapat ditangkap oleh penonton atau tidak. Alih-alih memberikan informasi yang jelas, pemerintah menayangkan iklan yang sangat tendensius dan berpotensi menimbulkan miskomunikasi antara rakyat sebagai pengguna dan aparat sebagai pelayan melalui iklan yang tidak komunikatif. Pemerintah dikemudian hari jangan pernah menyalahkan apabila ada masyarakat yang marah atau mengamuk jika ternyata sekolah anaknya tidak gratis seperti yang ia harapkan walaupun sebenarnya sekolah tersebut memang tidak gratis karena masuk kategori “kecuali …” tadi, hanya karena ia tidak dapat melihat dengan jelas keterangan di iklan tersebut.
Sekali lagi naluri intelektual kita dilecehkan oleh pemerintah. Sebagai binatang cerdas yang diberi amanah untuk melayani rakyatnya, pemerintah tampaknya masih setengah hati dalam merencanakan sekolah gratis di Negara ini. Jangan karena keinginan untuk melanggengkan kekuasaan kita lantas memberikan janji-janji yang tidak jelas kepada masyarakat. Jika melihat gelagat ini, rakyat Indonesia tampaknya harus lebih bersabar (dan bersabar terus) menanti pemerintah yang baik yang menempatkan masyarakat sebagai insan terhormat bukan sebagai onggokan daging bernyawa yang dapat dijadikan objek kekuasaan. Sekiranya Negara ini ternyata belum sanggup untuk memberikan sekolah gratis kepada rakyatnya, maka tunggulah sampai saatnya tiba. Jangan terkesan dipaksakan sehingga pemerintah merasa harus menyembunyikan informasi dari masyarakat atau membiarkan masyarakat tidak mendapatkan informasi yang jelas sebagai kambing hitam terhadap kegagalan yang sangat mungkin terjadi. Wallahu alam.
Dan murid-murid itu tetap merindukan sekolanya (yang tidak pernah ada)
salam dari Jakal km 6.5
Eki
Comments
Post a Comment